Saturday, February 15, 2014

Pengadaan Barang dan Jasa Masih Rawan Korupsi


Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun menilai, program pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement) oleh pemerintah belum berjalan optimal atau masih memiliki kelemahan dalam implementasinya. Maka, sektor pengadaan barang dan jasa ke depan masih menjadi sektor yang rawan korupsi.

“Karena, trennya terus meningkat dan kita lihat perbandingan dari semester satu dan dua terjadi peningkatan yang signifikan dan selalu korupsi sektor pengadaan barang dan jasa itu di atas 40 persen dari korupsi yang ditangani di Indonesia dengan berbagai macam modus,” kata Tama, di Jakarta, Selasa (7/1).



Menurutnya, salah satu faktor penyebab lemahnya program e-procurement adalah ketidaksiapan pemerintah dalam melaksanakan program tersebut. Pemerintah belum berkomitmen menggunakan program e-procurement yang ditawarkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP).

Lagipula, belum semua daerah menggunakan program e-procurement dan cenderung melaksanakan tender secara manual.

“Karena itu pemerintah harus berkomitmen mengunakan produk-produk e-procurement yang ditawarkan LKPP karena tidak semua daerah menggunakannya. Kalau pun menggunakan ada juga daerah yang kemudian menerapkannya hanya pada proyek-proyek tertentu. Sisanya manual,” katanya.

Dikatakan, program e-procurement juga belum menjamin 100 persen pelaksanaan pengadaan barang dan jasa bebas dari korupsi. Karena, pihaknya menemukan ada modus memanipulasi program dengan mengecilkan “bandwith”.

Sepanjang tahun 2013, ICW bersama mitra di Kota Banda Aceh, Kota dan Kabupaten Blitar, serta Kota Denpasar melakukan pemantauan pelaksanaan e-procurement di pemerintah daerah. ICW juga mendorong dilakukannya investigasi kasus korupsi di sektor Pengadaan Barang dan Jasa di tiga daerah tersebut karena terdapat indikasi penyimpangan.

Berdasarkan temuan investigasi di Disdikpora Kota Banda Aceh proses pengadaan komputer dilakukan tanpa hati-hati. Sehingga terjadi penggelembungan (markup) dalam penentuan harga perkiraan sendiri (HPS) sehingga berpotensi merugikan negara.

"Sementara temuan dalam proyek pengadaan lampu di stadion Soepriyadi Kota Blitar terjadi markup harga yang sangat berpotensi merugikan keuangan negara," jelasnya.

Koordinator bidang Investigasi dan Publikasi ICW Agus Sunaryanto menambahkan, sistem e-procurement seharusnya dapat menghapus batasan terhadap peserta tender dari provinsi, kabupaten maupun kota di seluruh Indonesia untuk ikut tender. Maka sedikitnya jumlah peserta tender merupakan indikasi kalau pelaksanaan program tersebut bermasalah.

“Jika pada suatu tender ternyata pesertanya sedikit, dimonopoli oleh peserta dari satu wilayah atau peserta sama disetiap tender, maka tender elektronik ini patut dicurigai direkayasa atau sistem arisan,” ungkapnya.

Menurutnya, diperlukan partisipasi pengawasan yang ekstra dari masyarakat dalam mengawal program e-procurement. Khususnya, dalam mengawasi pemenang lelang.

“Kalau pemenang lelang yang selalu menang berkali-kali juga harus diwaspadai. Apakah fenomena tersebut terkait favoritisme panitia karena prestasi atau karena ada relasi keluarga, politik dan bisnis pemenang tender dengan elite politik lokal,” ujarnya.