Berani melapor??? yang ada dilaporkan ya :)
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, menegaskan para pejabat fungsional pengadaan barang/jasa (PBJ) pemerintah hendaknya berani dan mau melapor kepada penegak hukum setempat dan atau kepada KPK, jika dalam melaksanakan tugas PBJ mendapat penekanan dari mana pun dengan ancaman apapun. Sebab dari modus seperti itulah sering ditemuinya sebagai awal terjadinya tindak pidana korupsi pengadaan barang.
”Jangan takut dengan penekanan dan ancaman misalnya akan dimutasi, dipecat, dan sebagainya. Laporkan ke KPK, kami akan tindaklanjuti laporan yang seperti ini. Kita harus berani jujur, karena dengan jujur itulah yang akan menyelamatkan kita dari jeratan hukum,” tegas Alexander Marwata, ketika tampil sebagai panelis dalam seminar nasional yang diselenggarakan DPN Ikatan Fungsional Pengadaan Indonesia (IFPI), di Garden Palace Hotel, Sabtu 925/3).
Seminar dalam rangka HUT I (pertama) IFPI ini juga menghadirkan panelis dari BPKP Jawa Timur dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof. Dr. Nur Basuki Winarno, SH., M.Hum. Seminar yang diikuti 160 pejabat pengadaan barang/jasa dari berbagai instansi dan daerah di Indonesia ini, dipandu oleh Bambang Suheryadi, SH., M.Hum, Ketua Pusat Layanan Pengadaan (PLP) UNAIR yang juga salah seorang perintis berdirinya IFPI di Surabaya tahun 2016 lalu.
Akibat adanya penekanan seperti itulah sampai akhirnya banyak terajdi ketika seorang pegawai akan ditugaskan sebagai pejabat pengadaan barang/jasa (PBJ), ia tak kuasa menolak dan berusaha untuk tidak meluluskan diri dalam sertifikasi. Tujuannya untuk menghindari jabatan PBJ, padahal disatu sisi professi ini sangat diperlukan.
Hal itu mengingat, seperti dilaporkan Ketua Panitia seminar, Drs. Moh Imron, MM., bahwa seminar bertajuk “Antisipasi masalah Hukum dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa” ini dilaksanakan karena kondisi di lapangan yang sangat rentan dengan resiko terkait masalah hukum. Jadi tujuannya untuk memberikan informasi, edukasi, dan meningkatkan professionalisme para pengelola PBJ.
”Apalagi dalam APBN/APBD tahun 2016 misalnya, dari sebesar Rp 2,095 triliun yang 40% dari itu harus dibelanjakan dalam bentuk pengadaan barang dan jasa, dan 60% sisanya untuk belanja pegawai dan belanja lainnya. Dengan prosentase yang besar itu, maka kegiatan PBJ memiliki peranan sangat strategis,” kata Moh Imron dari UNAIR itu.
Ditambahkan oleh Wakil Ketua KPK, yang paling rawan dalam kaitan PBJ adalah babak perencanaan. Sampai tahap ini tidak jarang anggota DPR/DPRD juga terlibat, walau pun secara teknis tidak ada kaitannya dengan urusan legislatif. Tetapi karena ada negosiasi-negosiasi terkait APBD, juga kolusi dan fee, maka legislatif pun ikut-ikutan. Ia menunjuk kasus seperti ini pada pengadaan UPS di DKI.
“Padahal dari perencanaan PBJ yang tidak benar karena adanya tekanan, hingga ada negosiasi-negosiasi, kolusi, juga ada hitungan fee, maka menjadikan lelang pengadaan PBJ menjadi tidak benar. Harga barang menjadi tidak wajar, diumumkannya terbatas pada media yang tidak bermutu, yang akhirnya pertanggungjawabannya pun juga tidak benar. Yang seperti ini mudah diungkap,” tandas Alexander Marwata.
Pada sisi yang lain, sistem pemilihan umum kepada daerah (Pemilukada) yang diterapkan selama ini juga belum menghasilkan terlaksananya sistem pembelanjaan PBJ di daerah secara baik sesuai yang diharapkan. Pasalnya, tidak sedikit diantara calon-calon kepala daerah itu dimintai “mahar” oleh parpol yang mengusung. “Mahar” yang sering ditemukan Marwata dalam kasus-kasus seperti ini, disebutkan antara Rp 25 M sampai Rp 30 miliar.
“Kalau dihitung rasional dan disesuaikan dengan gaji seorang bupati/walikota, dana sebesar itu sulit untuk kembali. Apalagi kalau itu dana utangan. Maka yang terjadi pada kepala daerah yang menang itu bagaimana berusaha mengembalikan modalnya. Modus kolusi ini yang sering terjaring pada banyak kepala daerah, yang sampai saat ini sekitar 200 kepala daerah,” tambah Marwata.
Karena itulah Marwata berharap, dengan benar-benar melaksanakan PBJ menggunakan E-planning, E-Budgetting, dan E-catalog yang harus diadopsi oleh masing-masing daerah atau instansi, maka PBJ yang benar akan bisa terwujud dan bebas dari ancaman sanksi hukum. Apalagi peran Inspektorat di daerah dalam mencegah terjadinya korupsi juga rendah karena sifatnya yang tidak independen.
Sumber: http://news.unair.ac.id/2017/03/26/pejabat-pengadaan-barang-yang-ditekan-harus-berani-lapor-kpk/
Blog Pengadaan - Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah - Guidelines for the Government Procurement of Goods and Services Blog
Pengadaan Barang Jasa,
Uang Muka,
Jaminan dalam Pengadaan Barang Jasa, Buku Pengadaan, Buku Tender,Pengadaan barang, Perpres 54 tahun dan revisi/perubahan perpres 54, Pengguna Anggaran (PA), Para Pihak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pokja ULP, PPHP, Pejabat/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan, Pengadaan Pelaksana Konstruksi, Pengadaan Konsultansi, Pengadaan Jasa Lainnya, Swakelola, Kebijakan Umum Pengadaan, Pengadaan Langsung, Pelelangan atau Seleksi Umum, Pengadaan atau Penunjukan Langsung, Pengadaan Kredibel, Pengadaan Konstruksi, Pengadaan Konsultan, Pengadaan Barang, Pengadaan Jasa Lainnya, Jaminan Penawaran, Jaminan Pelaksanaan, SKT Migas, Tenaga Ahli, HPS, Kontrak, Evaluasi, Satu/Dua Sampul dan Dua Tahap, TKDN, Sisa Kemampuan Paket, Kemampuan Dasar, Dukungan Bank, afiliasi, Konsolidasi Perpres 54 tahun 2010, e-katalog, Penipuan Bimtek e-Procurement Kasus Pengadaan Construction, Consultation, Goods, Services, Green Procurement, Sustainable Procurement, Best Practice Procurement, Supply Chain Management
http://pengadaan-barang-jasa.blogspot.co.id/search/label/kasus%20pengadaan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment