Pengadaan Barang Jasa, Uang Muka, Jaminan dalam Pengadaan Barang Jasa, Buku Pengadaan, Buku Tender,Pengadaan barang, Perpres 54 tahun dan revisi/perubahan perpres 54, Pengguna Anggaran (PA), Para Pihak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pokja ULP, PPHP, Pejabat/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan, Pengadaan Pelaksana Konstruksi, Pengadaan Konsultansi, Pengadaan Jasa Lainnya, Swakelola, Kebijakan Umum Pengadaan, Pengadaan Langsung, Pelelangan atau Seleksi Umum, Pengadaan atau Penunjukan Langsung, Pengadaan Kredibel, Pengadaan Konstruksi, Pengadaan Konsultan, Pengadaan Barang, Pengadaan Jasa Lainnya, Jaminan Penawaran, Jaminan Pelaksanaan, SKT Migas, Tenaga Ahli, HPS, Kontrak, Evaluasi, Satu/Dua Sampul dan Dua Tahap, TKDN, Sisa Kemampuan Paket, Kemampuan Dasar, Dukungan Bank, afiliasi, Konsolidasi Perpres 54 tahun 2010, e-katalog, Penipuan Bimtek e-Procurement Kasus Pengadaan Construction, Consultation, Goods, Services, Green Procurement, Sustainable Procurement, Best Practice Procurement, Supply Chain Management http://pengadaan-barang-jasa.blogspot.co.id/search/label/kasus%20pengadaan

Wednesday, August 24, 2016

Kejanggalan Beberapa Putusan Korupsi Pengadaan dan Kaitannya dengan Konstitusi

Tulisan ini menunjukkan beberapa putusan/vonis janggal terkait dengan korupsi tipe merugikan keuangan negara di sektor pengadaan pemerintah. Disebut janggal karena satu atau kombinasi dari poin-poin berikut:
(i) substansi perkara lebih merupakan perkara hukum administrasi atau perdata daripada pidana;
(ii) patut diduga bahwa jika publik mengetahui duduk perkara, maka akan memandang tidak adil jika terdakwa divonis bersalah;
(iii) kasus ini dibela oleh atau terjadi dibawah pimpinan atau menimpa kepada orang yang dipersepsikan reformis dan bersih. Tulisan ini fokus pada poin pertama dan berargumen bahwa hukum pidana melanggar batas wilayah hukum administrasi dan perdata karena rendahnya standar pembuktian pada korupsi tipe merugikan keuangan negara.



Standar pembuktian yang berlaku adalah “more likely than not”, dan bukan “beyond reasonable doubt”. Maraknya indikasi orang-orang dipidana padahal kesalahannya adalah administrasi atau perdata merupakan isu keadilan yang dijamin oleh konstitusi. Maka, Pasal-pasal yang memungkinkan terjadinya hal ini (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor) perlu diuji ulang oleh MK. Sekalipun hal yang sama pernah diuji oleh MK, namun disampaikan beberapa argumentasi hukum mengapa MK harus menerima permohonan pengujian ini kembali kelak.

Tulisan lengkap dapat di download di sini:

https://www.researchgate.net/publication/299337506_Kejanggalan_Beberapa_Putusan_Korupsi_Pengadaan_dan_Kaitannya_dengan_Konstitusi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama beberapa tahun terakhir, ramai diberitakan bahwa penyerapan anggaran pemerintah lambat dan tidak optimal. Hal ini dipandang merugikan, karena selain mengganggu pelaksanaan pembangunan, juga dianggap tidak membantu memperbaiki kelesuan ekonomi akibat resesi global. Ada banyak hal yang mungkin dapat dijadikan alasan atas lambatnya penyerapan anggaran. Salah satunya adalah kekhawatiran aparatur negara dalam bertindak. Mereka takut jika keputusan yang mereka buat kemudian diseret ke ranah hukum pidana. Untuk mensikapi hal tersebut, pemerintahan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan UU Administrasi Pemerintahan. Dalam penyampaian pendapat akhir pemerintah di rapat paripurna DPR untuk pengambilan keputusan terhadap RUU ini pada 26 September 2014, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar, menyatakan secara eksplisit bahwa aturan ini bertujuan agar “pembuat keputusan tidak mudah dikriminalisasi yang melemahkan mereka dalam melakukan inovasi pemerintahan”.2 Beralih ke pemerintahan era Presiden Joko Widodo, pemerintah sempat dikabarkan ingin mengeluarkan Peraturan Presiden yang ramai disebut dengan “Perpres antikriminalisasi”. 3 Pada intinya, Perpres ini direncanakan untuk melindungi aparatur negara agar tidak mudah diancam pidana. Rencana pembuatan Perpres ini ramai dikritik publik, karena selain penamaannya yang dianggap tidak tepat, publik juga meragukan substansi peraturan tersebut.4 Hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada kejelasan lebih lanjut mengenai hadir tidaknya Perpres ini. Pemerintah tidak memberikan contoh yang konkrit mengenai kejadian apa saja yang membuat mereka berpikir bahwa aparatur negara kerap dipidanakan. Tulisan ini ingin bermaksud menjelaskan bahwa kekhawatiran pemerintah memang ada dasarnya. Dengan memberikan contoh terhadap beberapa kasus di bidang pengadaan, yang merupakan bidang riset penulis, akan ditunjukkan bahwa kesalahan yang bersifat administrasi dan keperdataan juga diperkarakan secara pidana. Akan dianalisa mengapa hal ini dapat terjadi; apakah hal ini benar dan tepat; dan apabila tidak, apa yang harus dilakukan. Di bagian kesimpulan, akan terlihat bahwa akar masalah dan jalan keluar masalah ini bukan terletak pada UU Administrasi Pemerintahan atau Raperpres (yang ramai disebut sebagai) anti kriminalisasi sebagaimana diatas. B. Perumusan Masalah Bedasarkan latar belakang diatas, penulis mengajukan dua rumusan masalah sebagaimana berikut: 1. Benarkah kesalahan yang bersifat administrasi dan keperdataan di beberapa kasus pengadaan barang/jasa diklasifikasikan sebagai perbuatan korupsi? Jika ya, mengapa? 2. Apakah temuan poin pertama diatas benar jika dievaluasi dari perspektif ilmu hukum (pembuktian) dan konstitusi? Jika tidak, apa yang harus dilakukan? II. PEMBAHASAN Untuk menjawab rumusan masalah diatas, penulis akan menggunakan memaparkan dengan tahapan sbb. Pertama, akan diurikan deskripsi beberapa putusan kasus korupsi tipe merugikan keuangan negara di sektor pengadaan pemerintah yang dipandang kontroversial. Kemudian akan disajikan konsep pembagian wilayah hukum administrasi, perdata, dan pidana di pengadaan pemerintah, dan konsep perbedaan standar pembuktian yang berlaku antara hukum administrasi dan perdata dengan hukum pidana. Berdasarkan konsep ini, putusan kasus yang dipandang kontroversial tersebut akan diulas. Elaborasi ini akan menghasilkan kesimpulan bahwa putusan-putusan yang dikaji, walaupun merupakan kasus hukum pidana, namun menerapkan standar pembuktian kasus hukum administrasi dan perdata. Akibatnya, kasus pelanggaran administrasi dan wanprestasi dapat didakwa dan divois korupsi. Ulasan selanjutnya berargumen bahwa hal ini menimbulkan ketidakadilan, karena menghukum orang tidak sesuai dengan derajat kesalahannya, dan ketidak adilan ini tidak dibenarkan dari sisi konstitusi. Maka dari itu, dengan menguraikan beberapa alasan hukum, Mahkamah perlu menguji (ulang) konstitusionalitas Pasal-pasal yang menyebabkan hal diatas dapat terjadi. Pembahasan akan ditutup dengan uraian bahwa meningkatkan standar pembuktian pada kasus korupsi merugikan keuangan negara akan sama-sama memberikan kemudharatan dan kemaslahatan, namun tampaknya kemaslahatannya lebih banyak daripada kemudharatannya. A. Aneka putusan kasus korupsi pengadaan yang dipandang kontroversial Ada tiga putusan pengadilan yang akan diulas. Dua putusan terkait dengan pengadaan turbin Belawan, sedangkan satu putusan yang lain terkait pengadaan pembangunan gedung di Surabaya. Kasus turbin dipandang kontroversial selain karena ini adalah high profile case, juga karena sebagian pihak – termasuk penulis - menilai bahwa terdakwa seharusnya bebas. Advokat yang dikenal publik sebagai figur yang bersih, Todung Mulya Lubis, memilih untuk menangani kasus ini, karena memandang terdakwa memang tidak bersalah.5 LSM anti korupsi, ICW, juga menyayangkan putusan pemidanaan yang timbul pada kasus ini.6 Kasus pengadaan pembangunan di Surabaya sekalipun bukan kasus yang diperhatikan media, tetap dipilih karena pertimbangan relevansi. Lebih dari itu, pihak yang divonis adalah praktisi pengadaan terkemuka; sehingga kasus yang menjeratnya dipandang memberikan implikasi psikologis yang negatif bagi para praktisi pengadaan. 1. Putusan korupsi pengadaan turbin Belawan Sebelum masuk ke posisi kasus, relevan kiranya untuk menguraikan latar belakang kejadian sebagaimana berikut.7 Sistem pembangkit Sektor Belawan, terutama pembangkit GT 2.1 dan GT 2.2, memasuki fase overhaul (servis berat/turun mesin). Maka dari itu, proses pengadaan dilakukan, namun proses tender berulang kali gagal sejak 2009. PLN sempat memutuskan penunjukan langsung kepada Siemens, produsen pembangkit yang perlu diperbaiki, namun dibatalkan karena harga yang ditawarkan Siemens terlampau mahal. Akibatnya, overhaul urung dilakukan hingga tahun 2012, sehingga rawan meledak jika tidak segera diperbaiki. Mesin juga tidak mungkin dimatikan karena akan berakibat sebagian Sumatera Utara, Riau, dan Aceh akan padam. Maka PLN memutuskan untuk mengundang pabrik yang memproduksi suku cadang mesin tipe itu. Selain Siemens di Jerman, ada dua pabrik lain di dunia yang memegang lisensi, yaitu Ansaldo Energia di Italia dan Mapna Co di Iran. Ketiga perusahaan ini diundang bersaing dalam pengadaan. Namun yang kemudian bersaing hanya dua; Ansaldo mundur karena memiliki kesepakatan bisnis dengan Siemens untuk tidak bersaing di tender yang sama. Setelah pengadaan dilakukan, dinyatakan bahwa yang menang kompetisi adalah Mapna Co. Pengadaan ini kemudian dituduh merugikan keuangan negara, dan beberapa pegawai PLN dipidana dengan alasan korupsi. Berikut dibawah ini, penulis akan menguraikan konstruksi hukum dengan berfokus pada dua putusan Pengadilan Tipikor Medan: (i) putusan Surya D. Sinaga, selaku Manager Sektor Labuhan Angin PT PLN yang didalam struktur pengadaan berposisi sebagai ketua panitia pengadaan;8 (ii) putusan Chris L. Manggala, selaku (mantan) GM PLN Sumuatera Utara yang di dalam struktur pengadaan berposisi sebagai pengguna barang dan jasa9 - yang mana dalam struktur Perpres tentang Pengadaan posisi ini ekuivalen dengan pejabat pembuat komitmen (PPK)). Secara sederhana, ketua panitia pengadaan adalah ketua yang membawahi tim yang bertugas untuk mengevaluasi aneka proposal penawaran tender dan mengusulkan pemenang kepada PPK, dan PPK adalah orang yang mewakili institusi untuk menandatangani kontrak dengan penyedia – dan oleh karenanya juga bertugas melakukan supervisi untuk memastikan penyedia perform dengan kontrak.10 Pada intinya, konstruksi hukum jaksa untuk mendakwa dan konstruksi hukum hakim untuk memutus kedua orang ini adalah sama, kecuali pada beberapa penekanan yang minor. Jaksa mendakwa mereka dengan dakwaan primer Pasal 2 (1) UU Pemberantasan Tipikor,11 dan dakwaan subsider Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.12 Pada dakwaan primernya, Jaksa berargumen bahwa terdakwa Surya Sinaga telah melawan hukum dengan memenangkan Mapna Co. Pada intinya argumentasi Jaksa adalah sbb.13 Mapna Co tidak seharusnya dipilih karena tidak memiliki lisensi dari Siemens. Pelelangan seharusnya gagal, karena jumlah peserta kurang dari tiga. Harga yang ditawarkan Siemens lebih murah daripada Mapna (36, 3 ribu euro berbanding 38,4 ribu euro). Volume pekerjaan yang dilakukan oleh Mapna Co dan biaya yang dibayarkan oleh PLN ke Mapna bertambah, karena adanya addendum kontrak. Hakim menolak aneka argumentasi Jaksa diatas. Argumentasi pertama mentah karena PT PLN memiliki kebijakan untuk penggunaan sparepart non original.14 Poin Jaksa yang kedua dianggap tidak berdasar, karena metode pengadaan dengan pemilihan langsung memang dimungkinkan (apalagi karena sebelumnya pelelangan telah gagal).15 Alasan Jaksa yang ketiga gugur karena proposal penawaran Siemens lemah; selain tidak menjelaskan kapan pekerjaan dapat diselesaikan, Siemens juga tidak memberikan masa garansi pekerjaan; sehingga, walaupun harganya lebih murah, hakim menganggap wajar jika panitia tidak memilih Siemens. Argumentasi terakhir jaksa juga tidak diterima hakim, karena memang terdapat kerusakan tambahan pada turbin yang ketika proses pengadaan berlangsung, kerusakan tersebut belum terjadi, dan baru terlihat saat kontrak berjalan, sehingga addendum kontrak tidak dianggap salah. Hakim menilai, karena unsur ini tidak terpenuhi, maka dakwaan primer dikesampingkan dan beralih ke dakwaan sekunder. Namun kemudian, Hakim sependapat dengan argumentasi dakwaan sekunder Jaksa yang menyatakan bahwa terdakwa “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi” serta “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Alasannya, terdakwa tidak memberikan kesempatan kepada Siemens untuk melakukan assessment (semacam kunjungan kerja) sebelum Siemens melakukan penawaran. Akibatnya, Siemens tidak bisa mengetahui material apa yang dibutuhkan dan lamanya pelaksanaan pekerjaan. Hakim memilih tidak menguraikan unsur “merugikan keuangan negara”, karena kontrak antara PT PLN dan Mapna Co belum ditutup. Hakim memilih untuk meyakini bahwa tindakan terdakwa “dapat merugikan keuangan negara”, dan karena kata “dapat”, maka hal ini dapat dikesampingkan pembuktiannya.16 Hakim kemudian menganggap bahwa unsurunsur dakwaan sekunder telah terpenuhi, maka terdakwa Surya Sinaga dijatuhi hukuman 1,5 tahun dan denda 50 juta.17 Beralih ke terdakwa Chris Manggala, jaksa mendalilkan substansi dakwaan primer yang kurang lebih sama seperti dakwaan primer untuk terdakwa Surya Sinaga; dianggap “melawan hukum” karena memilih Mapna Co yang ber-sparepart non original, menawarkan harga lebih mahal, dlsb.18 Namun, dengan alur pemikiran yang kurang lebih sama dengan diatas, hakim menilai tidak ada yang salah atas hal tersebut.19 Jaksa juga mendalilkan terdakwa Chris “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi” dengan mendasarkan pada lima poin yang pada intinya mempermasalahkan pembayaran PLN kepada Mapna Co yang tidak sesuai dengan kemajuan kerja Mapna Co.20 Namun, proses persidangan menunjukkan sebaliknya, pembayaran dilakukan sesuai dengan barang yang diterima dalam keadaan baik; sehingga hakim tidak melihat adanya unsur terdakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain.21 Atas dua hal ini, maka dakwaan Primer dikesampingkan, dan hakim beralih ke dakwaan sekunder. Pada dakwaan sekunder, Jaksa mendalilkan bahwa terdakwa memenuhi unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. Hakim menilai bahwa unsur ini terpenuhi, karena terdakwa telah melakukan melakukan kesalahan dengan melakukan pembayaran kepada Mapna Co, padahal perusahaan ini terlambat melakukan prestasi. Material turbin terlambat datang, dari yang seharusnya 12 September 2012 menjadi 14 Desember 2012, dan terhadap keterlambatan tersebut, terdakwa juga dianggap salah karena tidak melakukan teguran.22 Hakim juga berpendapat bahwa terdakwa memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.” Alasannya, terdakwa tidak membuat berita acara serah terima barang dan/atau serah terima pekerjaan, sehingga terdakwa diyakini tidak melakukan pemeriksaan spare part dan tidak meneliti spesifikasi, mutu, dan kelengkapan barang.23 Adapun untuk unsur “dapat merugikan keuangan negara, hakim merasa hal ini tidak perlu dibuktikan dengan argumentasi yang sama seperti yang telah diurai untuk putusan Surya Sinaga. Dengan demikian, hakim menilai unsur-unsur dakwaan subsider untuk terdakwa Chris telah terpenuhi, sehingga dianggap terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan korupsi tipe merugikan keuangan negara, dan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara dan denda 50 juta.24 2. Putusan korupsi pembangunan Kantor Bea Cukai Jawa Timur Pada pengadaan pekerjaan konstruksi ini, ada dua terdakwa yang dinyatakan korupsi merugikan keuangan negara; yang pertama adalah Agus Kuncoro selaku Pejabat Pembuat Komitmen (“PPK”); dan yang kedua adalah Nanang Kuswandi, Direktur dari CV Bintang Timur (“CVBT”) selaku kontraktor yang memenangkan pengadaan ini. Sayangnya, putusan yang tersedia online hanyalah putusan CVBT. Maka, putusan itulah yang akan banyak dikutip disini. Namun diyakini, putusan untuk CVBT juga dapat menjelaskan posisi kasus dan alur konstruksi hukum hakim dalam memutus perkara untuk PPK. Posisi kasusnya adalah sbb. Panitia Pengadaan mengumkan CVBT memenangkan pengadaan pada tanggal 30 Juni 2012, lalu pada tanggal 15 Agustus, PPK dan CVBT melakukan tanda tangan kontrak pekerjaan senilai Rp. 6,6 Milyar dengan masa kontrak hingga 27 Desember 2012.25 Dengan jaminan kontrak tersebut, CVBT mendapatkan kredit modal kerja (standby loan) dari Bank Jatim sebesar Rp. 3,2 Milyar. Masalah mulai timbul karena pada tenggat waktu berakhirnya masa kontrak, CVBT baru menyelesaikan pekerjaan 35%. PPK kemudian memberikan kesempatan pada CVBT untuk menyelesaikan pekerjaan dengan tambahan waktu 50 hari, hingga Februari 2013.26 Pada awal Maret, pekerjaan juga belum selesai, dan kemudian dispakati adanya perpanjangan kerja hingga 45 hari, hingga akhir April 2013. Namun, pada akhir April 2013 diketahui bahwa pekerjaan baru tercapai 70%.27 Pada 08 Oktober 2013, PPK melakukan pemutusan kontrak dan tidak lama kemudian memasukkan CVBT dalam daftar hitam.28 Dakwaan untuk keduanya disusun secara primer dan subsider. Dakwaan Primernya adalah Pasal 2 (1) dan dakwaan subsidernya adalah Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Untuk menghindari pengulangan, maka unsur-unsur dakwaan tidak akan dijabarkan, karena sama dengan yang dikasus sebelumnya. Untuk dakwaan primer, majelis hakim menilai bahwa PPK telah memenuhi unsur “melawan hukum”, karena tidak cermat dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai PPK. Hakim merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) 25/PMK.05/2012 tentang Pelaksanaan Sisa Pekerjaan Tahun Anggaran Berkenaan yang Dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran berikutnya yang menyatakan bahwa perpanjangan tenggat waktu pelaksanaan kontrak hanyalah 50 hari, dan jika tidak juga selesai; maka dilakukan pemutusan kontrak.29 Namun, dakwaan primer ini kemudian dikesampingkan karena hakim menganggap unsur dakwaan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi tidak terbukti”. Secara eksplisit, hakim menilai CVBT tidak pernah menikmati uang yang diberikan, karena dana masih dalam posisi terblokir.30 Secara implisit, dalam putusan juga diurai bahwa sebagian dana kredit modal kerja yang telah digelontorkan oleh Bank Jatim ke CVBT (sesuai dengan prosentase prestasi kerja yang telah CVBT lakukan) tidaklah dipakai oleh CVBT, namun untuk biaya material dan membayar operasional seperti sub-kontraktor.31 Menimbang unsur unsur dakwaan primer tidak terpenuhi, hakim beralih ke dakwaan sekunder. Hakim menguraikan unsur dakwaan “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. Hakim menilai bahwa tindakan PPK memperpanjang kontrak melebihi 50 hari adalah melawan hukum. Hal tersebut tidak dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri, namun dianggap sebagai tindakan yang menguntungkan CVBT. Hakim kemudian menilai bahwa unsur ini terpenuhi.32 Selanjutnya, hakim menguraikan unsur dakwaan sekunder yang lain, “dapat merugikan keuangan negara”. Terhadap hal ini, hakim berpendapat bahwa apabila penegak hukum tidak masuk mengusut kasus ini, maka Bank Jatim akan tetap mengucurkan kredit ke CVBT, dan hal tersebut akan merugikan keuangan negara.33 Hakim menilai, dengan terbuktinya unsur unsur penting dalam dakwaan sekunder ini, Nanang Kuswando selaku direktur CVBT dianggap sah dan meyakinkan merugikan keuangan negara dan dihukum dua tahun penjara dan denda 50 juta rupiah.34 Adapun Agus Kuncoro selaku PPK dihukum satu tahun penjara dan denda 50 juta.35 B. Konsep pembagian wilayah hukum administrasi, perdata, dan pidana di pengadaan pemerintah Sebelum memulai analisis putusan, dipandang penting untuk memahami konsep pembagian wilayah hukum dalam pengadaan pemerintah. Secara konseptual, pembagian wilayah antara hukum administrasi dengan hukum perdata telah jelas. Pada fase awal pengadaan yang lazimnya meliputi, namun tidak terbatas pada, mengundang tender; memberikan penjelasan, menilai proposal masing-masing peserta pengadaan; menentukan pemenang pengadaan dan mengumumkannya (termasuk didalamnya sanggah dan sanggah banding) adalah wilayah hukum administrasi dan tunduk pada asas-asas hukum tersebut, seperti asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Meskipun demikian, jika peserta tender merasa dirugikan atas keputusan pemenang pengadaan, maka gugatan diajukan ke peradilan umum (dan bukan peradilan administrasi (TUN).37 Implikasi dari hal ini adalah, dalam memeriksa gugatan kasus pengadaan, peradilan umum tidak hanya menerapkan hukum perdata, namun juga hukum publik termasuk AUPB.38 Sedikit berbeda dengan sebelumnya, jika kontrak pengadaan sudah ditandatangani, lalu kontrak ini atau performa pelaksanaan kontrak ini dipermasalahkan, maka selain kompetensi peradilannya adalah peradilan umum, hukum yang berlaku adalah hukum kontrak (perdata) secara penuh.39 Lalu dimana posisi hukum pidana? Secara konseptual, hukum pidana bisa berada difase manapun, baik sebelum terjadinya kontrak, maupun setelah kontrak; sepanjang memenuhi unsur-unsur delik.40 Namun, hemat penulis, hukum pidana tidak serta merta dapat memasuki wilayah hukum perdata dan HAN, karena adanya perbedaan standar pembuktian sebagaimana uraian dibawah ini. C. Konsep perbedaan standar pembuktian hukum administrasi, perdata, dan pidana Secara konseptual, derajat pembuktian di hukum pidana dikenal dengan istilah “beyond reasonable doubt”, yang jika diterjemahkan secara bebas berarti kesalahan terdakwa “memang meyakinkan”, dan oleh karenanya layak mendapatkan hukuman pidana.41 Sedangkan, derajat pembuktian dalam hukum perdata dan hukum administrasi, disebut dengan istilah “more likely than not true” atau “preponderance of evidence” yang menurut hemat penulis bisa diterjemahkan sebagai “mana yang lebih tampak benar”.42 Standar pembuktian untuk perkara pidana didesain lebih tinggi daripada untuk perkara yang lain karena, mengutip Ronald Dworkin, “keliru memvonis pidana orang yang tidak bersalah, lebih berbahaya secara moral daripada keliru membebaskan orang yang bersalah”.43 Koheren dengan hal ini, Stein mengungkapkan bahwa “sistem hukum dapat dibenarkan untuk memenjarakan seseorang hanya jika sistem ini memberikan perlindungan terbaik kepada orang tersebut dari resiko kemungkinan vonis yang salah dan jika tidak ada mekanisme lain yang dapat memberikan perlindungan yang lebih baik kepada masyarakat” (selain dengan memenjarakan orang tersebut).44 Adalah benar bahwa terminologi diatas dijabarkan oleh sarjana hukum di negara Anglo Saxon. Namun, konsep dimana standar pembuktian hukum pidana lebih tinggi daripada hukum administrasi dan perdata adalah konsep yang berlaku umum di negara manapun sehingga kerangka konseptual ini dipandang dapat digunakan untuk keperluan analisis penulisan ini. D. Analisis kasus jika ditinjau dari konsep standar hukum pembuktian Bertolak dari tinjauan konseptual yang telah diuraikan, penulis berpendapat bahwa patut diduga ada kelemahan fundamental dalam konstruksi hukum hakim dalam memvonis bersalah terdakwa Surya Sinaga di kasus turbin Belawan. Argumentasi hakim lemah karena menyimpulkan bahwa ketiadaan kesempatan untuk kunjungan lapangan (assessment) sebagai keterpenuhan unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Pertama, ratio decidendi hakim sendiri juga mengakui bahwa terdakwa tidak memberikan perlakuan berbeda kepada Mapna Co karena perusahaan ini juga tidak mendapatkan akses untuk kunjungan kerja, artinya bahkan tidak ditemukan pelanggaran atas principle of equal treatment.46 Kedua, tidak ada aturan yang menjelaskan bahwa kunjungan lapangan adalah suatu keharusan. Ketiga, tanpa memberikan motivasi, hakim mengabaikan argumentasi substansial Surya Sinaga yang menyatakan bahwa Siemens meminta waktu dua minggu untuk assessment, padahal waktu yang ada sedemikian terbatas karena masyarakat semakin marah akibat sering dan lamanya pemadaman bergilir. Konstruksi hukum hakim dalam memutus terdakwa Chris Manggala di kasus turbin Belawan juga patut dipertanyakan. argumentasi hakim tampak dangkal dengan menyatakan terdakwa Chris memenuhi unsur “dengan tujuan menguntungkan suatu korporasi”, hanya karena yang bersangkutan tidak menegur Mapna Co atas keterlambatan prestasi selama tiga bulan. Situasi dimana Mapna Co terlambat tiga bulan dalam mengirimkan turbin adalah urusan keperdataan. Sehingga seharusnya solusi hukum untuk hal ini misalnya – namun mungkin tidak terbatas pada – memerintahkan PLN untuk mengenakan denda keterlambatan kepada Mapna Co, dan bukan memidana karyawan PLN.47 Hakim juga berlebihan dengan menyatakan terdakwa memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, karena tidak membuat berita acara serah terima barang dan/atau serah terima pekerjaan. Jika memang Chris melakukan kesalahan, maka kesalahan tersebut adalah kesalahan administratif, sebagaimana yang diurai diatas (tidak menegur atau tidak membuat surat). Ditinjau dari sisi akal sehat, sulit untuk memahami bahwa seseorang yang tidak menegur dan membuat surat harus menyandang status sebagai koruptor dan didera dengan hukuman penjara selama empat tahun. Jika memang terdakwa Chris ingin dipidana, maka penegak hukum harus menunjukkan hal yang lebih kuat daripada hal diatas. Beralih ke kasus pembangunan gedung bea cukai, penulis sependapat dengan hakim bahwa PPK telah bertindak melawan hukum dengan memperpanjang kontrak melebihi 50 hari. Namun demikian, penulis meragukan konstruksi hukum hakim yang menyatakan bahwa perpanjangan kontrak yang melebihi aturan tersebut menguntungkan CVBT, dan oleh karenanya unsur dakwaan subsider “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” terpenuhi. Kesimpulan ini meragukan karena kontradiktif dengan pernyataan hakim sebelumnya saat mengesampingkan dakwaan primer. Sebelumnya, hakim menganggap bahwa unsur dakwaan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi tidak terbukti”, karena CVBT tidak pernah menikmati uang yang diberikan (uang kucuran kredit habis untuk biaya material dan operasional).48 Jika hakim sebelumnya menyatakan bahwa PPK tidak terbukti memperkaya korporasi, mengapa hakim bisa meyakini bahwa yang bersangkutan bertujuan untuk memperkaya korporasi? Sayangnya, hakim tidak menguraikan hal ini. Dengan adanya inkonsistensi (atau setidak-tidaknya kekaburan) pola pikir hakim ihwal “memperkaya korporasi (CVBT)”, maka menjadi diragukan apakah kasus ini memang layak diselesaikan secara hukum pidana. Tidakkah lebih pantas bahwa PPK dihukum secara hukum administrasi atas kelalaian prosedur yang ia lakukan, terutama menimbang hakim juga mengakui bahwa tidak ada keuntungan pribadi yang dinikmati oleh PPK? Selaras dengan hal tersebut, tidakkah lebih tepat jika kesalahan CVBT dipandang sebagai pemborong yang gagal dalam memenuhi kontrak? Selain elaborasi diatas, adalah hal yang juga patut dipandang mengganggu ketika hakim dalam kasus-kasus diatas tidak pernah mengelaborasi secara memuaskan unsur “dapat merugikan keuangan negara”. Hakim dikasus turbin, baik untuk putusan terdakwa Surya Sinaga dan Chris Manggala, menyatakan bahwa karena adanya kata “dapat” dalam unsur “dapat merugikan keuangan negara”, maka pembuktian dapat dikesampingkan. Di kasus pembangunan gedung bea cukai, pada elaborasi tentang dakwaan subsidier, dengan merujuk pada kata “dapat”, hakim menyatakan pemenuhan unsur berdasarkan asumsi; sesuatu yang bisa saja benar, namun juga bisa saja keliru. Padahal, sebelumnya di elaborasi mengenai dakwaan primer, unsur dapat merugikan keuangan negara dinyatakan tidak terpenuhi. Dengan kata lain, hal ini mengindikasikan bahwa kata “dapat” dimaknai secara berbeda bahkan oleh hakim yang sama dalam kasus yang sama pula. Singkat kata, ulasan diatas telah menunjukkan beberapa putusan pengadilan tipikor yang memvonis beberapa terdakwa dengan alasan korupsi (merugikan keuangan negara) padahal kesalahan mereka lebih bersifat administrasi dan/atau keperdataan. Mengapa hal tersebut diatas dapat terjadi? Diduga hal ini dapat terjadi karena penegak hukum terlampau mudah menyimpulkan bahwa terdakwa telah memenuhi unsur-unsur delik merugikan keuangan negara, dan hal ini disebabkan oleh rendahnya derajat pembuktian yang diterapkan dalam delik tersebut, yaitu tidak terdapatnya uraian yang mengharuskan pembuktian bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa merupakan perbuatan yang bertujuan untuk merugikan keuangan negara.49 Akibatnya, kesalahan administrasi dan perdata (entah itu “perpanjangan kontrak” atau “tidak membuat teguran” atau tidak membuat “berita acara serah terima barang” atau lainnya) dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban pidana bagi pelaku.50 Hal ini akan diulas lebih lanjut pada sub pembahasan berikut. E. Analisis tambahan Selain dua kasus diatas, dipandang relevan untuk menyinggung secara singkat dua kasus kontroversial yang lain, yaitu kasus pengadaan mobil listrik dan kasus bioremediasi Chevron. Penulis tidak mengurai dua kasus ini seperti uraian sebelumnya, karena kasus yang pertama “baru” pada level persidangan, sehingga belum ada putusan hukumnya; sedangkan pada kasus yang kedua, penulis ragu bahwa pengadaan bioremediasi yang dilakukan oleh Chevron adalah pengadaan pemerintah – sehingga membandingkan kasus ini dengan dua kasus sebelumnya bisa jadi kurang tepat. Untuk kasus pengadaan mobil listrik, beberapa bulan lalu ramai diberitakan bahwa Dasep Ahmadi sebagai terdakwa korupsi merugikan keuangan negara, karena pengadaan dilakukan tanpa kompetisi dan dianggap tidak memenuhi prestasi untuk membuat mobil listrik sebanyak yang diperjanjikan.51 Hal ini menjadi debateble karena yang dikerjakan oleh terdakwa adalah membuat prototype yang ukuran keberhasilannya sulit untuk diukur dari sisi kuantitas output yang dihasilkan. Lebih dari itu, jika memang dipandang bermasalah, ini dipandang sebagai urusan keperdataan, wanprestasi.52 Untuk kasus pengadaan jasa bioremediasi, tampak bahwa delik pidana merugikan keuangan negara diterapkan untuk menghukum penyedia (PT Green Planet Indonesia (GPI)) yang mengikuti tender bioremediasi, padahal ini adalah tender di perusahaan swasta (Chevron).53 Hakim yang memutus perkara ini tidak pernah bersuara bulat, baik untuk tingkat pertama (2 menghukum : 1 tidak), tingkat banding (3 menghukum : 2 tidak), dan tingkat kasasi (2 menghukum : 1 tidak). Penulis ingin menggaris bawahi argumentasi hakim yang dissenting opinion dan menolak menghukum terdakwa. Hakim Agung Leopold Hutagalung menganggap bahwa kasus bioremediasi adalah kasus perdata, dengan menyatakan bahwa unsur memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain tidak terbukti, karena: “Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan ada niat dari Terdakwa dan yang mewakili PT. Chevron Pacific Indonesia untuk tujuan pembobolan tersebut”.54 Selanjutnya, hakim Leopold juga menganggap bahwa, “hukum pidana kita hanya mengenal ajaran pertanggung jawaban secara langsung, bukan beruntun, berentetan, atau menyamping”.55 Terkait yang disebut belakangan, hakim Leopold memberikan ilustrasi menarik, bahwa jika logika penegak hukum diterapkan dalam situasi yang lain, maka, “setiap orang yang lalai membayar rekening telepon atau PAM (...) akan dapat dituntut melakukan Tipikor”; 56 bahkan, orang yang tidak membayar makan waktu di restoran juga akan dituntut melakukan Tipikor karena dalam tagihan tersebut ada komponen pajak yang merupakan hak Negara”.57 Penulis sependapat dengan argumentasi Hakim Leopold diatas. Mengingat contoh diatas lebih mewakili bidang hukum perdata, maka perkenankanlah penulis untuk memberikan contoh dalam bidang hukum administrasi. Jika logika penegak hukum diterapkan kepada seseorang (baik pegawai negeri sipil, karyawan BUMN, atau orang umum) yang mendapatkan beasiswa studi (“karyasiswa”) yang terkait dengan keuangan negara (Dikti, Depkominfo, LPDP, Bappenas, atau beasiswa apapun dari lembaga donor yang sifatnya hutang), lalu karyasiswa tersebut gagal atau hanya sekedar terlambat menyelesaikan studinya; maka, yang bersangkutan sudah dapat dituntut melakukan Tipikor. Mengapa demikian? karena karyasiswa tersebut telah memenuhi unsur-unsur fundamental Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3; yaitu unsur melakukan perbuatan melawan hukum (karena dianggap lalai (baik gagal atau terlambat menyelesaikan masa studi, dan/atau dianggap melanggar hukum administrasi terkait masa studi); memenuhi unsur memperkaya diri sendiri (karena telah mendapatkan biaya hidup dari beasiswa); dan memenuhi unsur dapat merugikan keuangan negara. Lebih dari itu, jika hakim yang memutus perkara seperti di kasus pengadaan gedung bea cukai, maka hakim akan berargumen tidak akan “pusing” untuk membuktikan unsur ini, karena dianggap tidak perlu dibuktikan kerugiannya akibat adanya kata “dapat” dalam frase unsur tersebut. Mengejutkan? Belum seberapa. Jika logika hakim pada kasus turbin diterapkan pada contoh beasiswa ini, maka yang dapat didakwa merugikan keuangan negara bukan hanya si karyasiswa, namun juga para atasan karyasiswa apabila mereka lalai “tidak menegur” si karyasiswa. Sedangkan, jika logika pertanggungjawaban menyamping a la hakim kasus bioremediasi diterapkan, maka universitas dan/atau pembimbing si karyasiswa juga dapat didakwa, karena terlambatnya penyelesaian studi karyasiswa patut diduga karena pembimbing tidak membimbing dengan baik – sehingga pembimbing melakukan “perbuatan melawan hukum”. Sedangkan unsur “memperkaya diri sendiri” bisa dipastikan terpenuhi, karena pembimbing mendapatkan honorarium pembimbingan yang bersumber dari keuangan negara, adapun unsur “dapat merugikan keuangan negara”, sudah dianggap langsung terpenuhi tanpa perlu dibuktikan. F. Isu konstitusi atas rendahnya standar pembuktian kasus korupsi tipe merugikan keuangan negara Mengingat uraian diatas mendalilkan pada “kata kunci” standar pembuktian yang rendah dalam delik korupsi tipe merugikan keuangan negara; maka, sedikit banyak hal ini terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006. Di bagian ini, penulis akan mengulas terlebih dahulu putusan Mahkamah, baru belakangan akan diuraikan korelasi ulasan tersebut dengan ulasan yang telah diurai sebelumnya. Pada intinya terdapat permohonan yang meminta Mahkamah untuk membatalkan sebagian substansi UU Pemberantasan Tipikor, yaitu: (i) Pasal 2 ayat (1); (ii) Pasal 3; (iii) Pasal 15, dan (iv) penjelasan dari ketiganya. Guna memastikan relevansi dengan topik tulisan ini, semua yang terkait dengan Pasal 15 tidak akan diulas. Pemohon meminta pembatalan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Alasannya, kata “dapat” dianggap memberikan pemaknaan bahwa seseorang bisa divonis merugikan keuangan negara, baik karena kerugian negara tersebut telah terjadi, maupun karena kerugian negara yang belum terjadi.58 Hal ini tidak memberikan kepastian hukum dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Mahkamah memutuskan untuk mempertahankan kata “dapat” dengan tujuan untuk mempermudah beban pembuktian.59 Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menguraikan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” tidaklah bertentangan dengan hak kepastian hukum yang adil, sepanjang dipahami sesuai dengan tafsiran Mahkamah. Penafsiran yang dimaksud adalah: “dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum telah terbukti”.60 Selain itu, Mahkamah memutuskan untuk membatalkan penjelasan Pasal 2 ayat (1), yang mana hal ini secara otomatis juga berarti membatalkan penjelasan Pasal 3 karena penjelasan Pasal 3 merujuk pada penjelasan Pasal 2 ayat (1).61 Penjelasan tersebut dianggap tidak menjamin kepastian hukum sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena perbuatan yang tidak diatur dalam aturan tertulis juga dapat dijadikan alasan untuk memidana seseorang.62 Menariknya, dalam motivasinya membatalkan penjelasan diatas, Mahkamah juga sempat mengkhawatirkan jika penjelasan tersebut akan “membuat kriteria perbuatan melawan hukum yang dikenal dalam hukum perdata (...) seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana”. Ada dua hal yang dapat dipetik dari putusan MK diatas jika dikaitkan dengan tulisan ini. Pertama, Mahkamah tidak menyinggung sama sekali tentang pentingnya penegak hukum untuk membuktikan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa adalah perbuatan yang bertujuan untuk merugikan keuangan negara. Kedua, namun, Mahkamah menyinggung (secara singkat) kekhawatiran kesalahan yang sifatnya keperdataan akan menjadi ukuran untuk melakukan pemidanaan, dan oleh karenanya memutuskan untuk membatalkan penjelasan Pasal diatas. Ironisnya, sekalipun sudah disinggung, penegak hukum masih saja berpikir bahwa urusan keperdataan bisa diseret ke urusan korupsi.63 Beralih ke isu lain, sekiranya para pemangku kepentingan sependapat untuk memperbaiki rumusan Pasal-pasal korupsi merugikan keuangan negara, maka agar tidak membahayakan strategi pemberantasan korupsi; sebaiknya perbaikan rumusan Pasal-pasal ini tidak dilakukan di senayan (DPR). Jangan sampai justru membuat blunder karena sebagian politisi ingin menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga cara yang paling aman mungkin adalah mengajukan kembali Pasal-pasal ini ke MK. Pertanyaannya adalah apakah ini dapat diajukan kembali ke Mahkamah mengingat menurut Pasal 10 ayat (1) UU MK putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat? Terhadap hal ini, tentu rekan-rekan hukum tata negara yang lebih berkompeten untuk mengajukan argumentasi. Namun jika diperkenankan untuk berbagi pandangan, maka penulis berpendapat bahwa Mahkamah sebaiknya menerima untuk menguji ulang Pasal-pasal ini. Ada beberapa argumentasi yang dapat diajukan. Pertama, alasan/tujuan pengujian berbeda; jika sebelumnya argumentasi pemohon lebih kepada pembatalan Pasal-pasal tersebut; maka untuk permohonan ini, argumentasi lebih kepada meminta penafsiran MK yang bertujuan untuk meningkatkan standar pembuktian dalam penerapan delik korupsi merugikan keuangan negara. Hal ini dipandang relevan karena sebagaimana paragraf diatas, mahkamah sendiri tidak menyinggung sama sekali tentang pentingnya penegak hukum untuk membuktikan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa adalah perbuatan yang bertujuan untuk merugikan keuangan negara. Kedua, mahkamah hendaknya menerima permohonan tersebut, karena sebagai pengawal konstitusi berkewajiban memastikan hak hidup dan kebebasan manusia yang fundamental,64 yang kutipan kata Dworkin sebelumnya, hanya boleh dirampas jika memang yang bersangkutan melakukan kesalahan pidana dan hal dibuktikan dengan standar pembuktian yang tinggi. Ketiga, keadaan ketika Mahkamah memutus Pasal-pasal ini pada tahun 2006 diyakini berbeda dengan keadaan saat ini. Kala itu, hakim Mahkamah yakin bahwa standar pembuktian yang direndahkan dapat membantu memudahkan pembuktian korupsi merugikan keuangan negara. Tidak dipertimbangkan bahwa hal ini dapat (i) mencederai keadilan (sebagian) pihak yang telah divonis bersalah, karena kesalahan hukum perdata dan hukum administrasi dimintai pertanggungjawaban pidana; (ii) tidak pula dipertimbangkan bahwa hal ini dapat memberikan ketakutan yang tidak perlu dan melanggar asas kepastian hukum. Mengingat adanya hal baru yang seharusnya dipertimbangkan, maka Mahkamah perlu mempertimbangkan kembali untuk menguji Pasal-pasal ini. G. Meningkatkan standar pembuktian kasus korupsi merugikan keuangan negara: lebih besar manfaat daripada mudharat? Ada satu kerugian sekaligus beberapa kemanfaatan yang mungkin timbul jika standar pembuktian korupsi tipe merugikan keuangan negara ditingkatkan. Kerugiannya adalah penegak hukum mungkin akan menghadapi kesulitan untuk menyeret terduga korupsi, padahal kasus korupsi mungkin tidak mudah untuk dibuktikan. Namun, ada berbagai manfaat yang perlu dipertimbangkan, sbb. Pertama, peningkatan standar ini akan lebih berkeadilan, karena orang akan dihukum sesuai derajat kesalahannya. Bukankah tidak adil untuk memvonis seseorang telah melakukan korupsi, padahal pengadilan hanya mampu menunjukkan kesalahan terdakwa adalah “wanprestasi” atau “tidak menegur” atau “tidak membuat berita serah terima pekerjaan”? Kedua, penegak hukum akan lebih professional, tidak “malas”. Pada semua kasus yang disebut diatas, baik yang dijabarkan secara gamblang seperti kasus turbin, kasus pembangunan gedung bea cukai; maupun yang disinggung secara singkat, seperti kasus bioremediasi dan kasus mobil litrik; tidak terlihat sama sekali uraian yang bisa menjelaskan apakah kesalahan (“perbuatan melawan hukum”) yang dilakukan terdakwa memang didasarkan pada niat untuk menggarong uang negara. Hal ini relatif tampak berbeda dari kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK; terlihat jelas bahwa terdakwa memang sengaja berniat menggarong uang negara, misalnya pada kasus PON atau kasus hambalang. Selain itu, dengan peningkatan estándar pembuktian yang lebih tinggi, penegak hukum bisa dicegah untuk berbuat sewenang-wenang dengan menekan calon tersangka untuk melanggar hukum untuk kepentingan pribadi si penegak hukum.66 Ketiga, menetralisir ketakutan yang tidak perlu, sehingga kegiatan proses berjalannya pemerintahan dapat berjalan lebih smooth. Baik kasus turbin dan pembangunan bea cukai sesungguhnya adalah kasus yang sama-sama mengganggu psikologis praktisi pengadaan. Jika kasus turbin memang karena kasus ini adalah high profile case, namun jika kasus pembangunan kantor bea cukai karena yang dipidana adalah Agus Kuncoro. Dia adalah salah satu praktisi dan nara sumber terkemuka, juga penulis buku di bidang pengadaan. Jika orang sekapasitas Agus bisa tersangkut kasus pidana korupsi (yang mana hakim sendiri mengakui bahwa dia tidak menikmati uang kerugian negara tersebut); maka bisa dibayangkan bagaimana kekhawatiran para (calon) praktisi pengadaan yang lain. III. KESIMPULAN Tulisan ini telah menunjukkan bahwa kesalahan yang bersifat administrasi dan keperdataan di beberapa kasus pengadaan barang/jasa -secara janggal- telah diklasifikasikan oleh penegak hukum sebagai perbuatan korupsi merugikan keuangan negara. Di kasus turbin, tindakan panitia pengadaan yang tidak memberikan kesempatan melakukan kunjungan kerja (assessment) pada salah satu peserta pengadaan juga secara dangkal langsung dianggap sebagai rangkaian keterpenuhan delik Pasal 3. Padahal peserta pengadaan yang lain juga tidak diberikan kesempatan tersebut, yang artinya tidak ada pelanggaran principle of equal treatment. Masih di kasus yang sama, kesalahan administrasi yang dilakukan PPK hanya karena tidak menegur penyedia yang terlambat memenuhi prestasi hingga tidak membuat surat serah terima pekerjaan, sudah dianggap sebagai rangkaian keterpenuhan delik Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Di kasus pembangunan gedung bea cukai, kesalahan administrasi yang dilakukan PPK dengan melakukan perpanjangan waktu untuk penyelesaian pekerjaan membuatnya dipidana, padahal hakim sendiri mengakui bahwa ybs tidak mengambil keuntungan personal atas kejadian ini. Kemudian, sang pemborong dipidana korupsi karena wanprestasi (gedung hanya terbangun 70 persen) dan tindakannya tersebut merugikan keuangan negara. Selain hal diatas, sempat pula disinggung secara singkat mengenai kejanggalan kasus dimana delik korupsi merugikan keuangan negara juga diterapkan pada urusan keperdataan atas pengadaan yang dilakukan oleh perusahaan asing (Chevron). Diyakini, kontroversi terkait dengan pelanggaran batas hukum pidana yang memasuki hukum administrasi dan hukum perdata masih akan terus meminta korban, mengingat kejaksaan sedang menyidangkan kasus inovator mobil listrik sebagai tersangka korupsi kerugian negara. Kesalahan yang bersifat administrasi dan keperdataan dapat “diseret” sebagai kasus korupsi, karena Pasal 2 (1) dan Pasal (3) UU Pemberantasan Tipikor memungkinkan penegak hukum untuk mendakwa dan memvonis seseorang bersalah, tanpa perlu menerapkan standar pembuktian yang tinggi. Seseorang sudah dapat divonis bersalah tanpa perlu pembuktian bahwa perbuatan melawan hukum (wanprestasi atau pelanggaran administrasi) yang dilakukan merupakan perbuatan berlanjut yang bertujuan untuk merugikan keuangan negara. 25 Hal diatas tidak dibenarkan jika ditinjau dari ilmu hukum pembuktian, karena standar pembuktian untuk kasus pidana, apalagi untuk tuduhan serius seperti pidana korupsi, harusnya bersifat “beyond reasonable doubt”. Apabila merujuk redaksional Pasal 2 (1) dan Pasal 3 diatas dan bila melihat indikasi penerapan penaganan perkara yang terjadi di lapangan; standar pembuktian yang diberlakukan adalah “more likely than not”, yang merupakan standar pembuktian untuk kasus perdata dan hukum administrasi. Ditinjau dari hukum konstitusi, penerapan standar pembuktian yang rendah untuk kasus korupsi dapat menciptakan ketidakadilan, karena bisa membuat seseorang dihukum tidak berdasarkan derajat kesalahannya, dan menciptakan ketakutan yang tidak perlu. Ketidakadilan ini bertentangan dengan UUD. Ketidakbenaran ini perlu dikoreksi. Namun untuk menghindari blunder di Senayan, mungkin upaya yang paling bijak untuk mengoreksi hal ini adalah dengan memohon pengujian kembali ke MK. Mahkamah memang pernah menguji Pasal-pasal ini di tahun 2006, namun sekiranya ada permohonan pengujian kembali, hendaknya Mahkamah mengesampingkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU MK. Tiga argumentasi yang dapat diajukan adalah, sbb: (i) alasan/tujuan pengujian berbeda; (ii) sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah berkewajiban untuk memastikan hak hidup dan kebebasan manusia yang fundamental yang hanya boleh dirampas jika memang yang bersangkutan melakukan kesalahan pidana dan hal dibuktikan dengan standar pembuktian yang cukup; (iii) keadaan ketika Mahkamah memutus Pasal-pasal ini pada tahun 2006 diyakini berbeda dengan keadaan saat ini.

No comments:

Post a Comment