Pengadaan Barang Jasa, Uang Muka, Jaminan dalam Pengadaan Barang Jasa, Buku Pengadaan, Buku Tender,Pengadaan barang, Perpres 54 tahun dan revisi/perubahan perpres 54, Pengguna Anggaran (PA), Para Pihak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pokja ULP, PPHP, Pejabat/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan, Pengadaan Pelaksana Konstruksi, Pengadaan Konsultansi, Pengadaan Jasa Lainnya, Swakelola, Kebijakan Umum Pengadaan, Pengadaan Langsung, Pelelangan atau Seleksi Umum, Pengadaan atau Penunjukan Langsung, Pengadaan Kredibel, Pengadaan Konstruksi, Pengadaan Konsultan, Pengadaan Barang, Pengadaan Jasa Lainnya, Jaminan Penawaran, Jaminan Pelaksanaan, SKT Migas, Tenaga Ahli, HPS, Kontrak, Evaluasi, Satu/Dua Sampul dan Dua Tahap, TKDN, Sisa Kemampuan Paket, Kemampuan Dasar, Dukungan Bank, afiliasi, Konsolidasi Perpres 54 tahun 2010, e-katalog, Penipuan Bimtek e-Procurement Kasus Pengadaan Construction, Consultation, Goods, Services, Green Procurement, Sustainable Procurement, Best Practice Procurement, Supply Chain Management http://pengadaan-barang-jasa.blogspot.co.id/search/label/kasus%20pengadaan

Tuesday, February 4, 2014

Data ICW; Korupsi Sektor Kesehatan Rp 594 Miliar


Koordinator Divisi Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri menyatakan, sektor kesehatan masih terjangkit virus korupsi.

“Pemantauan ICW atas penindakan korupsi kesehatan selama periode 2001-2013. Dalam periode ini penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian dan KPK) di seluruh Indonesia telah berhasil menindak 122 kasus korupsi kesehatan, kerugian negara Rp 594 miliar. Kerugian negara kasus korupsi ini setara dengan pembiayaan iuran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) untuk 2,5 juta penduduk miskin atau pembiayaan operasional bagi 594 ribu pos yandu di seluruh Indonesia,” katanya, kepada SP, di Jakarta, Minggu (26/1).



Febri menegaskan, kasus korupsi ini juga telah menjadikan sejumlah pejabat tinggi terkait kesehatan di pemerintahan pusat dan daerah menjadi tersangka. Beberapa pejabat tinggi tersebut antara lain 2 Menkes, 2 Dirjen Kemkes, 7 Anggota DPR/DPRD, 3 Kepala Daerah, 31 Kepala Dinas Kesehatan, 14 Direktur Rumah Sakit dan 5 Kepala Puskesmas dan lainnya.

Dia menjelaskan, ICW melakukan dua kali periode pemantauan, yakni periode pemantauan penindakan sebelum 2009 dan pemantauan 2009-2013.

Pemantauan berdasarkan data dan informasi yang disampaikan kepada publik oleh penegak hukum ketika menindak korupsi di sektor kesehatan serta informasi dari jaringan masyarakat sipil lainnya yang memantau penindakan korupsi kesehatan di pusat dan daerah.

Rawan Korupsi

Dikatakan, dana program kuratif di dalam APBN dan APBD Kesehatan atau merupakan dana paling rawan korupsi di antara dana untuk program promotif, preventif, dan rehabilitatif.

“Dari 122 kasus korupsi kesehatan, sebagian besar (93 persen) di antaranya merupakan kasus yang melibatkan pengelolaan dana program kuratif seperti pengadaan alat kesehatan (alkes), obat, pembangunan/rehabilitasi rumah sakit dan puskesmas, jaminan kesehatan, pembangunan laboratorium dan lain sebagainya,” katanya.

Di antara dana program kuratif tersebut, lanjutnya, dana pengadaan alkes merupakan paling banyak dikorupsi (43 kasus dengan kerugian negara Rp 442 miliar.

“Celakanya, alokasi program kuratif ini justru paling besar dalam APBN dan APBD Kesehatan. Sampai saat ini ditaksir lebih dari 70 persen, alokasi APBN dan APBD kesehatan justru diperuntukkan untuk program kuratif dan sisanya untuk promotif dan preventif,” ucapnya.

Dia memaparkan, skala prioritas seperti ini jelas tidak sesuai dengan paradigma sehat yang sedang dibangun Indonesia saat ini. Paradigma sehat menyatakan “Lebih baik mencegah (promotif dan preventif) daripada mengobati (kuratif dan rehabilitatif)”.

“Perlu diinvestigasi lebih dalam, apakah masalah ini –anggaran kuratif lebih besar dibanding promotif dan preventif- sengaja dibiarkan terjadi sehingga anggaran kesehatan selalu diprioritaskan untuk kuratif dibanding promotif dan preventif sehingga rawan dikorupsi,” ucapnya.

Modus

Febri menerangkan, dari 122 kasus korupsi kesehatan yang ditindak penegak hukum, sebagian besar di antaranya merupakan dilakukan dengan modus “mark up” (penggelembungan harga barang dan jasa).

Hal ini bisa dimaklumi karena kasus yang ditindak umumnya adalah kasus korupsi pengadaan alkes, obat dan pembangunan/rehabilitasi rumah sakit dan puskesmas.

Modus ini, katanya, dapat dilakukan dengan mudah karena adanya kongkalingkong antara panitia pengadaan yang diintervensi atasannya dengan rekanan pengadaan.

“Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar maka harga barang dinaikkan jauh lebih tinggi dari harga wajar, misal harga pasar atau harga ditetapkan pemerintah,” katanya.

Febri melanjutkan, berdasarkan lembaga tempat korupsi terjadi maka Kemkes merupakan lembaga paling besar merugikan negara yakni sebesar Rp 249,1 miliar.

Kerugian ini berasal dari 9 kasus korupsi yang ditindak penegak hukum di lembaga ini. Selain itu, lembaga ini juga menyumbang koruptor kakap yakni 2 Menkes dan 2 orang Dirjen.

Oleh karena itu, katanya, wajar jika saat ini Kemkes dikatakan sebagai sarang koruptor kakap sektor kesehatan.

Selain Kemkes, katanya, korupsi kesehatan juga terjadi dilembaga kesehatan lain seperti Dinkes Provinsi/Kabupaten/Kota, Rumah Sakit dan Puskesmas. Praktik korupsi banyak terjadi dilembaga-lembaga ini.

Berdasarkan pemantauan ICW, 46 kasus korupsi terjadi di Dinkes Provinsi/Kabupaten/Kota, 55 kasus di rumah sakit, dan 9 kasus di puskesmas seluruh Indonesia. Total kerugian negara di 3 lembaga kesehatan ini mencapai Rp 210,1 miliar.

Sejalan dengan hal tersebut, terangnya, berdasarkan jumlah kasus dan kerugian negara pengelolaan anggaran kesehatan dipemerintahan pusat (Eksekutif, Legislatif, dan BUMN) penyumbang korupsi terbesar berdasarkan lokasi korupsi.

Jumlah kasus yang terjadi di wilayah ini mencapai 12 kasus dengan kerugian negara Rp 273,15 miliar. Sementara wilayah lain yang merupakan provinsi rawan korupsi kesehatan adalah Banten dan Sumut.

Dua provinsi terakhir menyumbang 9 dan 15 kasus korupsi kesehatan dengan kerugian negara masing-masing adalah Rp 71,6 miliar dan Rp 59,2 miliar.

Meski banyak kasus yang berhasil ditindak penegak hukum, katanya, namun masih banyak praktik korupsi di sektor kesehatan yang lolos.

Hal ini disebabkan karena lemahnya penegakan hukum atas praktek korupsi kesehatan. Dari 42 kasus korupsi kesehatan yang ditindak sebelum tahun 2009, lebih dari setengah kasus tersebut (26 kasus) tidak jelas perkembangan penanganannya sampai akhir tahun 2013.

Hanya 8 kasus dari 42 kasus yang mendapatkan vonis dari pengadilan. Sisanya, masih dalam proses persidangan, buron, atau SP3. [W-12]

sumber: suarapembaruan