Pengadaan Barang Jasa, Uang Muka, Jaminan dalam Pengadaan Barang Jasa, Buku Pengadaan, Buku Tender,Pengadaan barang, Perpres 54 tahun dan revisi/perubahan perpres 54, Pengguna Anggaran (PA), Para Pihak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pokja ULP, PPHP, Pejabat/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan, Pengadaan Pelaksana Konstruksi, Pengadaan Konsultansi, Pengadaan Jasa Lainnya, Swakelola, Kebijakan Umum Pengadaan, Pengadaan Langsung, Pelelangan atau Seleksi Umum, Pengadaan atau Penunjukan Langsung, Pengadaan Kredibel, Pengadaan Konstruksi, Pengadaan Konsultan, Pengadaan Barang, Pengadaan Jasa Lainnya, Jaminan Penawaran, Jaminan Pelaksanaan, SKT Migas, Tenaga Ahli, HPS, Kontrak, Evaluasi, Satu/Dua Sampul dan Dua Tahap, TKDN, Sisa Kemampuan Paket, Kemampuan Dasar, Dukungan Bank, afiliasi, Konsolidasi Perpres 54 tahun 2010, e-katalog, Penipuan Bimtek e-Procurement Kasus Pengadaan Construction, Consultation, Goods, Services, Green Procurement, Sustainable Procurement, Best Practice Procurement, Supply Chain Management http://pengadaan-barang-jasa.blogspot.co.id/search/label/kasus%20pengadaan

Monday, May 30, 2016

SIstem Pengadaan Obat JKN

Ketersediaan obat JKN masih menjadi polemik di beberapa wilayah Indonesia akibat tersendatnya suplai dan biaya logistik yang membayangi distribusi obat.

Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi DKI Jakarta Handoko B. Soetrisno mengatakan saat ini harga masih menjadi parameter nomor satu dari pemenang tender obat JKN.

“Ini kan bukan cuma masalah murah-murahan harga. Harus dilihat juga dari kemampuan industrinya seperti pendanaannya. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) baiknya memiliki tim penilai kemampuan industri,” tuturnya pada Bisnis pekan lalu.



Hal tersebut menjadi dilema, lanjutnya, untuk melakukan komunikasi secara tatap muka antara industri dan LKPP karena dikhawatirkan mengganggu independensi lembaga. Padahal ada hal tertentu yang tidak mudah untuk dijelaskan menggunakan kertas.

Profesor dan Direktur National School of Public Health Yunani Nikos Maniadakis mengatakan setiap negara menerapkan standar manufaktur yang berbeda yang diikuti oleh kualitas produk yang berbeda pula.

“Negara lain melakukan pengukuran kualitas pada tiap produk dan membaginya ke dalam grup yang berbeda-beda. Lalu mereka melakukan tender ke dalam sub grup tersebut. Selain itu mereka memiliki kriteria dan sistem skoring untuk melihat mana yang terbaik dari segi harga dan kualitas,” katanya.

Dia memahami bahwa konsumen JKN kebanyakan merupakan dari kalangan menengah bawah, maka masuk akal jika harga menjadi parameter utama dalam melakukan tender obat. Namun, tidak adil jika obat yang berkualitas hanya bisa didapatkan oleh masyarakat golongan berduit.

Namun, dia mengatakan harga obat yang murah tidak berarti murah dalam arti sebenarnya.

“Mungkin ada obat yang lebih murah, tapi mungkin anda butuh dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama (dengan obat yang lebih mahal),”
ujarnya.

Obat yang tidak terjamin keamanannya, lanjutnya, mungkin saja adalah obat yang lebih murah.

Namun, ketika ada efek samping, pasien memerlukan biaya lebih untuk mengobatinya.

Menurutnya, tender obat JKN perlu dilakukan dengan membuat beberapa kelompok dengan tingkatan standar kualitas. Hal tersebut bisa dimulai dari obat
dengan harga yang cenderung murah di pasaran menuju obat yang lebih mahal dengan kualitas lebih baik.

Dalam presentasinya, dia menyampaikan Vietnam sudah menerapkan sistem kategorisasi tersebut dengan membagi enam kategori obat sesuai dengan sertifikat internasional yang didapat oleh industri farmasi, seperti good manufacturing practices (GMP), Pharmaceutical Inspection Convention (PIC), dan International Conference on Harmonisation (ICH).

Industri yang tidak memiliki sertifikat tersebut pun diberikan kesempatan meski porsinya sangat kecil. Di China penilaian harga hanya mendapat skor sebesar 10% dari 15 item penilaian.

Sedangkan Swedia tidak menempatkan kategori harga sama sekali untuk tender obatnya, melainkan lebih kepada risiko obat.

Begitu pula Irlandia yang melakukan tender lewat dua fase,di mana fase pertama merupakan penilaian kemanan obat dan kualitas, dilanjutkan dengan fase
kedua yang diukur dari biaya yang dikeluarkan untuk membeli obat tersebut.

KEAMANAN OBAT

Hasil dari International Society For Pharmacoeconomics and Outcomes Research pada tahun lalu mengatakan 22 kriteria ranking untuk pemilihan obat yang utama adalah keamanan obat, sertifikasi, dan jaminan API serta proses produksi, sedangkan harga atau biaya berada di posisi nomor 11.

Selain masalah standar, menurutnya pemenang tender obat perlu lebih dari satu atau multi winner agar terjadi persaingan yang sehat.

“Single winner ada kalanya tidak mampu meningkatkan kapasitasnya dengan mudah untuk memenuhi kebutuhan obat terutama untuk negara besar seperti Indonesia, begitu juga dengan negaranegara kecil di Eropa yang masih bergemelut dengan isu kapasitas pabrik yang mencukupi,” jelas Nikos.

Dia khawatir dengan hanya menunjuk satu pemenang akan berakibat pada berakhirnya kompetisi dan menurunkan jumlah perusahaan yang mengikuti tender yang disusul timbulnya situasi monopolistik.

Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan Engko Sosialine Magdalene mengatakan sistem multiple winner sempat diterapkan pada 2013, namun menuai permasalahan karena ada industri yang banyak mendapat pemesanan dan yang lain tidak padahal berada di provinsi yang sama.

“Untuk mengatasi itu, kami minta pada LKPP dengan adanya emonev, kami bisa mengidentifikasi sedini mungkin yang tidak sanggup memenuhi komitmen atau sudah over supply maka LKPP wajib mencari jalan keluarnya,” katanya.

Guna menghindari mandeknya distribusi obat ke rumah sakit, dia mengusulkan jika satu industri tidak mampu memenuhi lagi permintaan, maka akan ditawarkan kepada industri ke pemenang kedua atau industri yang berada di provinsi yang sama.

Namun, kemajuan e-catalog sudah tampak, buktinya persentase obat generik dan originator dalam e-catalog semakin seimbang. Pada e-catalog 2013, sebanyak 100% obat dipenuhi dari obat generik. Porsi obat originator makin meningkat pada 2014 menjadi 25,44%.

Persentase obat originator sudah mencapai 34,09% pada e-catalog 2015.

Pemerintah diharapkan dapat dengan segera mengatasi karut marut pelaksanaan JKN agar tujuan utama pelaksanaan program tersebut untuk mempermudah akses masyarakat pada kesehatan dapat tercapai.

Sumber: www.bisnis.com

No comments:

Post a Comment