Peneliti Muda Lembaga Kajian Politik dan Pembangunan Daerah KalselPublik tersentak, Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini tertangkap tangan oleh KPK (Komisi Pemberatansan Korupsi). Dia diduga menerima suap dalam penempatan pejabat untuk posisi-posisi di pemerintahan dan berlindung dibalik lelang jabatan.
Kasus Sri Hartini yang diduga menerima sejumlah uang sebagai balas jasa atas posisi yang akan ditempati seseorang, seakan mengungkap lelang jabatan bukan lagi diukur dari kemampuan profesionalitas seseorang. Namun merupakan hasil lobi berdasarkan besaran “setoran” yang berani diberikan si calon pejabat. (Tajuk Banjarmasin Post edisi Selasa, 3 Januari 2017).
Kasus Sri Hartini, merupakan sebuah “kejutan awal tahun” bagi para kepala daerah lainnya agar berhati-hati dalam menempatkan para pejabat di posisi-posisinya. Berhati-hati di sini dapat berarti menempatkan posisi seseorang pejabat yang sudah membayar uang pelicin agar tidak ketahuan (disadap) KPK atau berhati-hati dalam meletakkan posisi seseorang pejabat yang sekelompok (golongan/partai/tim sukses).
Sudah menjadi rahasia umum, hampir di seluruh NKRI ini budaya suap menyuap jabatan seringkali terjadi. Ujung-ujungnya permainan politik pun digulirkan dalam membagi-bagi kekuasaan, mempertahankan kekuasaan serta merebut kekuasaan.
Seseorang yang memiliki kekuasaan berbuat sesuka hatinya menunjuk para pembantunya, karena sesungguhnya seorang yang berkuasa memiliki wewenang untuk mengatur pemerintahannya. Kentalnya budaya titip-menitip (hubungan darah), balas budi kepada seseorang yang memberikan modal, mengangkat tim sukses dan lain-lain dalam proses pemerintahan tidak dapat diubah apalagi untuk dihilangkan (revolusi mental). Bahkan, malah dipertahankan (Firdaus, 2016), terlebih lagi dalam proses lelang jabatan ini.
Seperti diketahui, ter-kadang para pejabat menginginkan posisi “lahan basah” dalam menempuh jalan barunya sebagai pejabat. Lahan basah tesebut dapat diartikan institusi-institusi (dinas) pemerintah yang berhubungan dengan uang, proyek dan lain-lain sehingga sangat di impi-impikan dan diperebutkan dengan menghalalkan segala cara oleh para calon pejabat untuk menduduki posisi strategis tersebut.
Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan bangsa kita. Dalam mengisi jabatan pun diperlukan finansial yang tidak sedikit, sehingga menenggelamkan aspek yang sesungguhnya harus dinilai yaitu kinerja yang telah dilalui seorang calon pejabat yang pantas menduduki posisi tersebut.
Sejatinya, seorang pejabat adalah pelayan rakyat, tetapi kini pejabat hanyalah seorang yang menginginkan jabatan, haus akan jabatan, lapar akan kekuasaan, sehingga menenggelamkan tugas sebagai pelayan rakyat. Pelayan rakyat adalah seseorang abdi masyarakat yang benar-benar melayani rakyat tanpa menginginkan jabatan.
Oleh: M RIYANDI FIRDAUS SSOS MAP
Dosen STIA Tabalong
Dosen STIA Tabalong
sumber : http://banjarmasin.tribunnews.com/
No comments:
Post a Comment