Kata konsultansi berasal dari kata consultancy dengan akar kata kerja to consult yaitu meminta pendapat atau pemikiran seorang profesional (atau bagi sang ahli to give professional or expert advice). Dengan kata lain inti dari jasa konsultansi ada pada pemikiran atau olah pikir (brain-ware) sebagaimana tertuang dalam pasal 1 angka 16 Perpres 70/2012.
Karena fokus utama jasa konsultansi ada pada olah pikir maka persaingan dalam pengadaan jasa konsultansi menggunakan istilah SELEKSI (selection). Sedangkan untuk bidang pengadaan barang, pekerjaan konstruksi dan lainnya persaingan menggunakan istilah LELANG atau TENDER.
Perbedaan SELEKSI dan LELANG terletak dalam ’fokus evaluasi’ terhadap penawaran dari penyedia dalam kompetisi. Dalam lelang atau tender, evaluasi persaingan harga merupakan domain utama dalam evaluasi penawaran. Namun dalam pengadaan jasa konsultansi domain utama penilaian ada pada evaluasi penawaran teknis. Tidak pernah ada dalam persaingan pengadaan jasa konsultansi menggunakan harga sebagai jalur utama dalam penentuan pemenang. Bilamana salam seleksi jasa konsultansi dominan penilaian ada pada evaluasi harga, maka kita menyamakan jasa konsultansi dengan jasa lainnya atau pengadaan barang. Tentunya praktek ini sudah menyimpang dari pembagian metoda evaluasi yang jelas sebagaimana tertuang dalam pasal 48 dan pasal 49 Perpres 70 Tahun 2012.
Ada dua ekstrim metode evaluasi penawaran. Ekstrim pertama, evaluasi seleksi pengadaan jasa konsultansi yang sepenuhnya ditentukan oleh penilaian teknis seperti pada metode evaluasi kualitas. Dalam evaluasi kualitas, penentuan pemenang dalam kompetisi (seleksi) ‘hanya’ ditentukan dengan nilai penawaran teknis terbaik. Harga sama sekali tidak dipertimbangkan dalam menentukan urutan pemenang. Ekstrim yang lain adalah evaluasi sistem gugur dalam lelang atau tender yang sepenuhnya ditentukan dengan persaingan harga. Dalam lelang umum, pemenang lelang adalah penawar harga terendah setelah syarat-syarat minimum administrasi dan teknis dipenuhi.
Diantara kedua ekstrim tersebut ada spektrum metode penilaian gabungan (kombinasi) teknis dan biaya. Evaluasi sistem nilai atau merit point untuk lelang dan evaluasi kualitas dan biaya, pagu anggaran serta biaya terendah untuk seleksi. Dalam spektrum evaluasi gabungan teknis dan biaya baik dalam lelang maupun seleksi, bobot tertinggi tetap ditentukan oleh karakter lelang atau seleksi. Dalam seleksi bobot teknis harus lebih tinggi (dominan) dibandingkan bobot harga, sedangkan untuk lelang bobot harga (minimal 70 persen) harus lebih tinggi (dominan) dibandingkan bobot teknis.
Dengan memperhatikan metode penilaian tersebut diatas, maka dalam seleksi konsultan evaluasi penawaran teknis menjadi fokus utama dalam evaluasi seluruh penawaran yang masuk. Evaluasi penawaran teknis dalam seleksi tidak dapat disepelekan. Sebagaimana para pelaku pengadaan sudah mafhum bahwa penawaran teknis dari penyedia tidak dapat distandarkan. Hanya porsi penilaian pengalaman perusahaan saja (dengan bobot sekitar 10 persen) yang mungkin dapat distandarkan itupun bila e-procurement telah menggunakan vendor management system (VMS). Sedangkan penawaran kualitas metodologi dan kualitas tenaga ahli tidak dapat ditandarkan, meskipun untuk jasa konsultansi sederhana. Dengan kata lain, sesederhana apapun paket pengadaan jasa konsultansi, seleksi konsultan harus selalu mendahulukan dan membandingkan penawaran teknis dari setiap penawaran yang masuk.
Karena fokus evaluasi dalam kompetisi atau seleksi konsultan ada pada evaluasi penawaran teknis maka pengadaan jasa konsultansi yang dikompetisikan selalu menggunakan pra-kualifikasi. Sejauh ini tidak ada larangan menggunakan paska kualifikasi untuk seleksi konsultan. Namun apa konsekuensinya?
Keputusan menggunakan paska kualifikasi untuk jasa konsultansi harus mempertimbangkan dampak beban pekerjaan bagi pokja, terutama bilamana penawaran yang masuk sangat banyak. Bisa kita perkirakan beban pokja ULP yang sangat tinggi bilamana dalam suatu seleksi penyedia jasa konsultansi dengan paska kualifikasi yang memasukkan penawaran sebanyak 20 penawaran atau lebih. Pokja akan memerlukan waktu yang lama untuk menilai masing-masing penawaran teknis dan membandingkan satu penawaran dengan penawaran lainnya. Beban tinggi pokja bukan hanya karena jumlah penawaran teknis yang banyak tapi juga pola dan kriteria evaluasi yang tidak mudah diterapkan secara konsisten (human fatigue) bila jumlah penawaran yang masuk banyak. Hal ini tentunya berdampak pada evaluasi yang kurang obyektif dan menimbulkan sanggah yang sulit dibuktikan dengan penilaian teknis yang adil dan konsisten.
Bagaimana dengan pengadaan jasa konsultansi perorangan?
Dalam Perpres 70/2012, pengadaan jasa konsultansi perorangan menggunakan paska kualifikasi. Ketentuan ini hanya bisa diterapkan kalau PPK hanya akan memilih kualitas individu tenaga ahli saja. Pekerjaan ini cocok untuk jasa penasehatan, jasa pendampingan dan sejenisnya.
Namun bilamana PPK menuntut metode kerja yang harus dilakukan oleh tenaga ahli yang indivual tersebut, maka pengadaannya bisa menuntut menggunakan pra-kualifikasi. Dengan fokus pada penilaian metode kerja, maka pokja harus bisa memperkirakan jumlah kandidat perorangan yang diperkirakan akan mampu. Bilamana jumlah kandidatnya banyak dan tentunya jumlah penawaran metodologi akan banyak juga, maka seleksi konsultan perorangan dengan pra-kualifikasi merupakan cara yang cerdas.
Sekarang ini sudah ada tendensi di pusat dan di daerah, sesederhana apapun jasa konsultansi yang diperlukan (meskipun sebagian termasuk pekerjaan rumit dan beresiko), perorangan atau badan usaha, selalu diupayakan nilai HPSnya maksimumRp. 50 juta. Pengadaan langsung lebih mudah, aman dan nyaman.
Bagaimana nasib selanjutnya jasa konsultansi?
Salam pengadaan,
Deden
Sumber: https://groups.yahoo.com/neo/groups/instruktur_pbj_tot_lkpp/c