Tulisan ini menunjukkan beberapa putusan/vonis janggal terkait dengan korupsi tipe merugikan keuangan negara di sektor pengadaan pemerintah. Disebut janggal karena satu atau kombinasi dari poin-poin berikut:
(i) substansi perkara lebih merupakan perkara hukum administrasi atau perdata daripada pidana;
(ii) patut diduga bahwa jika publik mengetahui duduk perkara, maka akan memandang tidak adil jika terdakwa divonis bersalah;
(iii) kasus ini dibela oleh atau terjadi dibawah pimpinan atau menimpa kepada orang yang dipersepsikan reformis dan bersih. Tulisan ini fokus pada poin pertama dan berargumen bahwa hukum pidana melanggar batas wilayah hukum administrasi dan perdata karena rendahnya standar pembuktian pada korupsi tipe merugikan keuangan negara.
Standar pembuktian yang berlaku adalah “more likely than not”, dan bukan “beyond reasonable doubt”. Maraknya indikasi orang-orang dipidana padahal kesalahannya adalah administrasi atau perdata merupakan isu keadilan yang dijamin oleh konstitusi. Maka, Pasal-pasal yang memungkinkan terjadinya hal ini (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor) perlu diuji ulang oleh MK. Sekalipun hal yang sama pernah diuji oleh MK, namun disampaikan beberapa argumentasi hukum mengapa MK harus menerima permohonan pengujian ini kembali kelak.
Tulisan lengkap dapat di download di sini:
https://www.researchgate.net/publication/299337506_Kejanggalan_Beberapa_Putusan_Korupsi_Pengadaan_dan_Kaitannya_dengan_Konstitusi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama beberapa tahun terakhir, ramai diberitakan bahwa penyerapan anggaran
pemerintah lambat dan tidak optimal. Hal ini dipandang merugikan, karena selain
mengganggu pelaksanaan pembangunan, juga dianggap tidak membantu memperbaiki
kelesuan ekonomi akibat resesi global.
Ada banyak hal yang mungkin dapat dijadikan alasan atas lambatnya penyerapan
anggaran. Salah satunya adalah kekhawatiran aparatur negara dalam bertindak. Mereka takut
jika keputusan yang mereka buat kemudian diseret ke ranah hukum pidana.
Untuk mensikapi hal tersebut, pemerintahan di era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah mengeluarkan UU Administrasi Pemerintahan. Dalam penyampaian
pendapat akhir pemerintah di rapat paripurna DPR untuk pengambilan keputusan terhadap
RUU ini pada 26 September 2014, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, Azwar Abubakar, menyatakan secara eksplisit bahwa aturan ini bertujuan agar
“pembuat keputusan tidak mudah dikriminalisasi yang melemahkan mereka dalam
melakukan inovasi pemerintahan”.2
Beralih ke pemerintahan era Presiden Joko Widodo, pemerintah sempat dikabarkan
ingin mengeluarkan Peraturan Presiden yang ramai disebut dengan “Perpres antikriminalisasi”.
3 Pada intinya, Perpres ini direncanakan untuk melindungi aparatur negara agar
tidak mudah diancam pidana. Rencana pembuatan Perpres ini ramai dikritik publik, karena
selain penamaannya yang dianggap tidak tepat, publik juga meragukan substansi peraturan
tersebut.4 Hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada kejelasan lebih lanjut mengenai hadir
tidaknya Perpres ini.
Pemerintah tidak memberikan contoh yang konkrit mengenai kejadian apa saja yang
membuat mereka berpikir bahwa aparatur negara kerap dipidanakan. Tulisan ini ingin
bermaksud menjelaskan bahwa kekhawatiran pemerintah memang ada dasarnya. Dengan
memberikan contoh terhadap beberapa kasus di bidang pengadaan, yang merupakan bidang
riset penulis, akan ditunjukkan bahwa kesalahan yang bersifat administrasi dan keperdataan
juga diperkarakan secara pidana. Akan dianalisa mengapa hal ini dapat terjadi; apakah hal ini
benar dan tepat; dan apabila tidak, apa yang harus dilakukan. Di bagian kesimpulan, akan
terlihat bahwa akar masalah dan jalan keluar masalah ini bukan terletak pada UU
Administrasi Pemerintahan atau Raperpres (yang ramai disebut sebagai) anti kriminalisasi
sebagaimana diatas.
B. Perumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang diatas, penulis mengajukan dua rumusan masalah
sebagaimana berikut:
1. Benarkah kesalahan yang bersifat administrasi dan keperdataan di beberapa kasus
pengadaan barang/jasa diklasifikasikan sebagai perbuatan korupsi? Jika ya, mengapa?
2. Apakah temuan poin pertama diatas benar jika dievaluasi dari perspektif ilmu hukum
(pembuktian) dan konstitusi? Jika tidak, apa yang harus dilakukan?
II. PEMBAHASAN
Untuk menjawab rumusan masalah diatas, penulis akan menggunakan memaparkan
dengan tahapan sbb. Pertama, akan diurikan deskripsi beberapa putusan kasus korupsi tipe
merugikan keuangan negara di sektor pengadaan pemerintah yang dipandang kontroversial.
Kemudian akan disajikan konsep pembagian wilayah hukum administrasi, perdata, dan
pidana di pengadaan pemerintah, dan konsep perbedaan standar pembuktian yang berlaku
antara hukum administrasi dan perdata dengan hukum pidana. Berdasarkan konsep ini,
putusan kasus yang dipandang kontroversial tersebut akan diulas. Elaborasi ini akan
menghasilkan kesimpulan bahwa putusan-putusan yang dikaji, walaupun merupakan kasus
hukum pidana, namun menerapkan standar pembuktian kasus hukum administrasi dan
perdata. Akibatnya, kasus pelanggaran administrasi dan wanprestasi dapat didakwa dan divois korupsi. Ulasan selanjutnya berargumen bahwa hal ini menimbulkan ketidakadilan,
karena menghukum orang tidak sesuai dengan derajat kesalahannya, dan ketidak adilan ini
tidak dibenarkan dari sisi konstitusi. Maka dari itu, dengan menguraikan beberapa alasan
hukum, Mahkamah perlu menguji (ulang) konstitusionalitas Pasal-pasal yang menyebabkan
hal diatas dapat terjadi. Pembahasan akan ditutup dengan uraian bahwa meningkatkan standar
pembuktian pada kasus korupsi merugikan keuangan negara akan sama-sama memberikan
kemudharatan dan kemaslahatan, namun tampaknya kemaslahatannya lebih banyak daripada
kemudharatannya.
A. Aneka putusan kasus korupsi pengadaan yang dipandang kontroversial
Ada tiga putusan pengadilan yang akan diulas. Dua putusan terkait dengan pengadaan
turbin Belawan, sedangkan satu putusan yang lain terkait pengadaan pembangunan gedung di
Surabaya. Kasus turbin dipandang kontroversial selain karena ini adalah high profile case,
juga karena sebagian pihak – termasuk penulis - menilai bahwa terdakwa seharusnya bebas.
Advokat yang dikenal publik sebagai figur yang bersih, Todung Mulya Lubis, memilih untuk
menangani kasus ini, karena memandang terdakwa memang tidak bersalah.5 LSM anti
korupsi, ICW, juga menyayangkan putusan pemidanaan yang timbul pada kasus ini.6 Kasus
pengadaan pembangunan di Surabaya sekalipun bukan kasus yang diperhatikan media, tetap
dipilih karena pertimbangan relevansi. Lebih dari itu, pihak yang divonis adalah praktisi
pengadaan terkemuka; sehingga kasus yang menjeratnya dipandang memberikan implikasi
psikologis yang negatif bagi para praktisi pengadaan.
1. Putusan korupsi pengadaan turbin Belawan
Sebelum masuk ke posisi kasus, relevan kiranya untuk menguraikan latar belakang
kejadian sebagaimana berikut.7 Sistem pembangkit Sektor Belawan, terutama pembangkit GT
2.1 dan GT 2.2, memasuki fase overhaul (servis berat/turun mesin). Maka dari itu, proses
pengadaan dilakukan, namun proses tender berulang kali gagal sejak 2009. PLN sempat memutuskan penunjukan langsung kepada Siemens, produsen pembangkit yang perlu
diperbaiki, namun dibatalkan karena harga yang ditawarkan Siemens terlampau mahal.
Akibatnya, overhaul urung dilakukan hingga tahun 2012, sehingga rawan meledak jika tidak
segera diperbaiki. Mesin juga tidak mungkin dimatikan karena akan berakibat sebagian
Sumatera Utara, Riau, dan Aceh akan padam. Maka PLN memutuskan untuk mengundang
pabrik yang memproduksi suku cadang mesin tipe itu. Selain Siemens di Jerman, ada dua
pabrik lain di dunia yang memegang lisensi, yaitu Ansaldo Energia di Italia dan Mapna Co di
Iran. Ketiga perusahaan ini diundang bersaing dalam pengadaan. Namun yang kemudian
bersaing hanya dua; Ansaldo mundur karena memiliki kesepakatan bisnis dengan Siemens
untuk tidak bersaing di tender yang sama. Setelah pengadaan dilakukan, dinyatakan bahwa
yang menang kompetisi adalah Mapna Co. Pengadaan ini kemudian dituduh merugikan
keuangan negara, dan beberapa pegawai PLN dipidana dengan alasan korupsi.
Berikut dibawah ini, penulis akan menguraikan konstruksi hukum dengan berfokus
pada dua putusan Pengadilan Tipikor Medan: (i) putusan Surya D. Sinaga, selaku Manager
Sektor Labuhan Angin PT PLN yang didalam struktur pengadaan berposisi sebagai ketua
panitia pengadaan;8 (ii) putusan Chris L. Manggala, selaku (mantan) GM PLN Sumuatera
Utara yang di dalam struktur pengadaan berposisi sebagai pengguna barang dan jasa9 - yang
mana dalam struktur Perpres tentang Pengadaan posisi ini ekuivalen dengan pejabat pembuat
komitmen (PPK)). Secara sederhana, ketua panitia pengadaan adalah ketua yang membawahi
tim yang bertugas untuk mengevaluasi aneka proposal penawaran tender dan mengusulkan
pemenang kepada PPK, dan PPK adalah orang yang mewakili institusi untuk
menandatangani kontrak dengan penyedia – dan oleh karenanya juga bertugas melakukan
supervisi untuk memastikan penyedia perform dengan kontrak.10
Pada intinya, konstruksi hukum jaksa untuk mendakwa dan konstruksi hukum hakim
untuk memutus kedua orang ini adalah sama, kecuali pada beberapa penekanan yang minor.
Jaksa mendakwa mereka dengan dakwaan primer Pasal 2 (1) UU Pemberantasan Tipikor,11
dan dakwaan subsider Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.12
Pada dakwaan primernya, Jaksa berargumen bahwa terdakwa Surya Sinaga telah
melawan hukum dengan memenangkan Mapna Co. Pada intinya argumentasi Jaksa adalah
sbb.13 Mapna Co tidak seharusnya dipilih karena tidak memiliki lisensi dari Siemens.
Pelelangan seharusnya gagal, karena jumlah peserta kurang dari tiga. Harga yang ditawarkan
Siemens lebih murah daripada Mapna (36, 3 ribu euro berbanding 38,4 ribu euro). Volume
pekerjaan yang dilakukan oleh Mapna Co dan biaya yang dibayarkan oleh PLN ke Mapna
bertambah, karena adanya addendum kontrak.
Hakim menolak aneka argumentasi Jaksa diatas. Argumentasi pertama mentah karena
PT PLN memiliki kebijakan untuk penggunaan sparepart non original.14 Poin Jaksa yang
kedua dianggap tidak berdasar, karena metode pengadaan dengan pemilihan langsung
memang dimungkinkan (apalagi karena sebelumnya pelelangan telah gagal).15 Alasan Jaksa
yang ketiga gugur karena proposal penawaran Siemens lemah; selain tidak menjelaskan
kapan pekerjaan dapat diselesaikan, Siemens juga tidak memberikan masa garansi pekerjaan;
sehingga, walaupun harganya lebih murah, hakim menganggap wajar jika panitia tidak
memilih Siemens. Argumentasi terakhir jaksa juga tidak diterima hakim, karena memang
terdapat kerusakan tambahan pada turbin yang ketika proses pengadaan berlangsung,
kerusakan tersebut belum terjadi, dan baru terlihat saat kontrak berjalan, sehingga addendum
kontrak tidak dianggap salah. Hakim menilai, karena unsur ini tidak terpenuhi, maka
dakwaan primer dikesampingkan dan beralih ke dakwaan sekunder.
Namun kemudian, Hakim sependapat dengan argumentasi dakwaan sekunder Jaksa
yang menyatakan bahwa terdakwa “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi” serta “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan”. Alasannya, terdakwa tidak memberikan kesempatan kepada
Siemens untuk melakukan assessment (semacam kunjungan kerja) sebelum Siemens
melakukan penawaran. Akibatnya, Siemens tidak bisa mengetahui material apa yang
dibutuhkan dan lamanya pelaksanaan pekerjaan.
Hakim memilih tidak menguraikan unsur “merugikan keuangan negara”, karena
kontrak antara PT PLN dan Mapna Co belum ditutup. Hakim memilih untuk meyakini bahwa
tindakan terdakwa “dapat merugikan keuangan negara”, dan karena kata “dapat”, maka hal
ini dapat dikesampingkan pembuktiannya.16 Hakim kemudian menganggap bahwa unsurunsur
dakwaan sekunder telah terpenuhi, maka terdakwa Surya Sinaga dijatuhi hukuman 1,5
tahun dan denda 50 juta.17
Beralih ke terdakwa Chris Manggala, jaksa mendalilkan substansi dakwaan primer
yang kurang lebih sama seperti dakwaan primer untuk terdakwa Surya Sinaga; dianggap
“melawan hukum” karena memilih Mapna Co yang ber-sparepart non original, menawarkan
harga lebih mahal, dlsb.18 Namun, dengan alur pemikiran yang kurang lebih sama dengan
diatas, hakim menilai tidak ada yang salah atas hal tersebut.19 Jaksa juga mendalilkan
terdakwa Chris “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi” dengan
mendasarkan pada lima poin yang pada intinya mempermasalahkan pembayaran PLN kepada
Mapna Co yang tidak sesuai dengan kemajuan kerja Mapna Co.20 Namun, proses persidangan
menunjukkan sebaliknya, pembayaran dilakukan sesuai dengan barang yang diterima dalam
keadaan baik; sehingga hakim tidak melihat adanya unsur terdakwa memperkaya diri sendiri
atau orang lain.21 Atas dua hal ini, maka dakwaan Primer dikesampingkan, dan hakim beralih
ke dakwaan sekunder.
Pada dakwaan sekunder, Jaksa mendalilkan bahwa terdakwa memenuhi unsur “dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. Hakim menilai
bahwa unsur ini terpenuhi, karena terdakwa telah melakukan melakukan kesalahan dengan melakukan pembayaran kepada Mapna Co, padahal perusahaan ini terlambat melakukan
prestasi. Material turbin terlambat datang, dari yang seharusnya 12 September 2012 menjadi
14 Desember 2012, dan terhadap keterlambatan tersebut, terdakwa juga dianggap salah
karena tidak melakukan teguran.22
Hakim juga berpendapat bahwa terdakwa memenuhi unsur “menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.”
Alasannya, terdakwa tidak membuat berita acara serah terima barang dan/atau serah terima
pekerjaan, sehingga terdakwa diyakini tidak melakukan pemeriksaan spare part dan tidak
meneliti spesifikasi, mutu, dan kelengkapan barang.23
Adapun untuk unsur “dapat merugikan keuangan negara, hakim merasa hal ini tidak
perlu dibuktikan dengan argumentasi yang sama seperti yang telah diurai untuk putusan
Surya Sinaga. Dengan demikian, hakim menilai unsur-unsur dakwaan subsider untuk
terdakwa Chris telah terpenuhi, sehingga dianggap terbukti sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindakan korupsi tipe merugikan keuangan negara, dan menjatuhkan hukuman
empat tahun penjara dan denda 50 juta.24
2. Putusan korupsi pembangunan Kantor Bea Cukai Jawa Timur
Pada pengadaan pekerjaan konstruksi ini, ada dua terdakwa yang dinyatakan korupsi
merugikan keuangan negara; yang pertama adalah Agus Kuncoro selaku Pejabat Pembuat
Komitmen (“PPK”); dan yang kedua adalah Nanang Kuswandi, Direktur dari CV Bintang
Timur (“CVBT”) selaku kontraktor yang memenangkan pengadaan ini. Sayangnya, putusan
yang tersedia online hanyalah putusan CVBT. Maka, putusan itulah yang akan banyak
dikutip disini. Namun diyakini, putusan untuk CVBT juga dapat menjelaskan posisi kasus
dan alur konstruksi hukum hakim dalam memutus perkara untuk PPK.
Posisi kasusnya adalah sbb. Panitia Pengadaan mengumkan CVBT memenangkan
pengadaan pada tanggal 30 Juni 2012, lalu pada tanggal 15 Agustus, PPK dan CVBT
melakukan tanda tangan kontrak pekerjaan senilai Rp. 6,6 Milyar dengan masa kontrak
hingga 27 Desember 2012.25 Dengan jaminan kontrak tersebut, CVBT mendapatkan kredit
modal kerja (standby loan) dari Bank Jatim sebesar Rp. 3,2 Milyar. Masalah mulai timbul
karena pada tenggat waktu berakhirnya masa kontrak, CVBT baru menyelesaikan pekerjaan 35%. PPK kemudian memberikan kesempatan pada CVBT untuk menyelesaikan pekerjaan
dengan tambahan waktu 50 hari, hingga Februari 2013.26 Pada awal Maret, pekerjaan juga
belum selesai, dan kemudian dispakati adanya perpanjangan kerja hingga 45 hari, hingga
akhir April 2013. Namun, pada akhir April 2013 diketahui bahwa pekerjaan baru tercapai
70%.27 Pada 08 Oktober 2013, PPK melakukan pemutusan kontrak dan tidak lama kemudian
memasukkan CVBT dalam daftar hitam.28
Dakwaan untuk keduanya disusun secara primer dan subsider. Dakwaan Primernya
adalah Pasal 2 (1) dan dakwaan subsidernya adalah Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.
Untuk menghindari pengulangan, maka unsur-unsur dakwaan tidak akan dijabarkan, karena
sama dengan yang dikasus sebelumnya.
Untuk dakwaan primer, majelis hakim menilai bahwa PPK telah memenuhi unsur
“melawan hukum”, karena tidak cermat dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
sebagai PPK. Hakim merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu)
25/PMK.05/2012 tentang Pelaksanaan Sisa Pekerjaan Tahun Anggaran Berkenaan yang
Dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran berikutnya
yang menyatakan bahwa perpanjangan tenggat waktu pelaksanaan kontrak hanyalah 50 hari,
dan jika tidak juga selesai; maka dilakukan pemutusan kontrak.29 Namun, dakwaan primer ini
kemudian dikesampingkan karena hakim menganggap unsur dakwaan “memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau korporasi tidak terbukti”. Secara eksplisit, hakim menilai CVBT
tidak pernah menikmati uang yang diberikan, karena dana masih dalam posisi terblokir.30
Secara implisit, dalam putusan juga diurai bahwa sebagian dana kredit modal kerja yang telah
digelontorkan oleh Bank Jatim ke CVBT (sesuai dengan prosentase prestasi kerja yang telah
CVBT lakukan) tidaklah dipakai oleh CVBT, namun untuk biaya material dan membayar
operasional seperti sub-kontraktor.31
Menimbang unsur unsur dakwaan primer tidak terpenuhi, hakim beralih ke dakwaan
sekunder. Hakim menguraikan unsur dakwaan “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. Hakim menilai bahwa tindakan PPK memperpanjang
kontrak melebihi 50 hari adalah melawan hukum. Hal tersebut tidak dilakukan untuk
menguntungkan diri sendiri, namun dianggap sebagai tindakan yang menguntungkan CVBT.
Hakim kemudian menilai bahwa unsur ini terpenuhi.32
Selanjutnya, hakim menguraikan unsur dakwaan sekunder yang lain, “dapat merugikan
keuangan negara”. Terhadap hal ini, hakim berpendapat bahwa apabila penegak hukum tidak
masuk mengusut kasus ini, maka Bank Jatim akan tetap mengucurkan kredit ke CVBT, dan
hal tersebut akan merugikan keuangan negara.33 Hakim menilai, dengan terbuktinya unsur
unsur penting dalam dakwaan sekunder ini, Nanang Kuswando selaku direktur CVBT
dianggap sah dan meyakinkan merugikan keuangan negara dan dihukum dua tahun penjara
dan denda 50 juta rupiah.34 Adapun Agus Kuncoro selaku PPK dihukum satu tahun penjara
dan denda 50 juta.35
B. Konsep pembagian wilayah hukum administrasi, perdata, dan pidana di
pengadaan pemerintah
Sebelum memulai analisis putusan, dipandang penting untuk memahami konsep
pembagian wilayah hukum dalam pengadaan pemerintah. Secara konseptual, pembagian
wilayah antara hukum administrasi dengan hukum perdata telah jelas. Pada fase awal
pengadaan yang lazimnya meliputi, namun tidak terbatas pada, mengundang tender;
memberikan penjelasan, menilai proposal masing-masing peserta pengadaan; menentukan
pemenang pengadaan dan mengumumkannya (termasuk didalamnya sanggah dan sanggah
banding) adalah wilayah hukum administrasi dan tunduk pada asas-asas hukum tersebut,
seperti asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Meskipun demikian, jika peserta tender merasa dirugikan atas keputusan pemenang
pengadaan, maka gugatan diajukan ke peradilan umum (dan bukan peradilan administrasi
(TUN).37 Implikasi dari hal ini adalah, dalam memeriksa gugatan kasus pengadaan, peradilan
umum tidak hanya menerapkan hukum perdata, namun juga hukum publik termasuk AUPB.38
Sedikit berbeda dengan sebelumnya, jika kontrak pengadaan sudah ditandatangani, lalu
kontrak ini atau performa pelaksanaan kontrak ini dipermasalahkan, maka selain kompetensi
peradilannya adalah peradilan umum, hukum yang berlaku adalah hukum kontrak (perdata)
secara penuh.39 Lalu dimana posisi hukum pidana? Secara konseptual, hukum pidana bisa
berada difase manapun, baik sebelum terjadinya kontrak, maupun setelah kontrak; sepanjang
memenuhi unsur-unsur delik.40 Namun, hemat penulis, hukum pidana tidak serta merta dapat
memasuki wilayah hukum perdata dan HAN, karena adanya perbedaan standar pembuktian
sebagaimana uraian dibawah ini.
C. Konsep perbedaan standar pembuktian hukum administrasi, perdata, dan pidana
Secara konseptual, derajat pembuktian di hukum pidana dikenal dengan istilah “beyond
reasonable doubt”, yang jika diterjemahkan secara bebas berarti kesalahan terdakwa “memang meyakinkan”, dan oleh karenanya layak mendapatkan hukuman pidana.41
Sedangkan, derajat pembuktian dalam hukum perdata dan hukum administrasi, disebut
dengan istilah “more likely than not true” atau “preponderance of evidence” yang menurut
hemat penulis bisa diterjemahkan sebagai “mana yang lebih tampak benar”.42
Standar pembuktian untuk perkara pidana didesain lebih tinggi daripada untuk perkara
yang lain karena, mengutip Ronald Dworkin, “keliru memvonis pidana orang yang tidak
bersalah, lebih berbahaya secara moral daripada keliru membebaskan orang yang bersalah”.43
Koheren dengan hal ini, Stein mengungkapkan bahwa “sistem hukum dapat dibenarkan untuk
memenjarakan seseorang hanya jika sistem ini memberikan perlindungan terbaik kepada
orang tersebut dari resiko kemungkinan vonis yang salah dan jika tidak ada mekanisme lain
yang dapat memberikan perlindungan yang lebih baik kepada masyarakat” (selain dengan
memenjarakan orang tersebut).44
Adalah benar bahwa terminologi diatas dijabarkan oleh sarjana hukum di negara Anglo
Saxon. Namun, konsep dimana standar pembuktian hukum pidana lebih tinggi daripada
hukum administrasi dan perdata adalah konsep yang berlaku umum di negara manapun sehingga kerangka konseptual ini dipandang dapat digunakan untuk keperluan analisis
penulisan ini.
D. Analisis kasus jika ditinjau dari konsep standar hukum pembuktian
Bertolak dari tinjauan konseptual yang telah diuraikan, penulis berpendapat bahwa
patut diduga ada kelemahan fundamental dalam konstruksi hukum hakim dalam memvonis
bersalah terdakwa Surya Sinaga di kasus turbin Belawan. Argumentasi hakim lemah karena
menyimpulkan bahwa ketiadaan kesempatan untuk kunjungan lapangan (assessment) sebagai
keterpenuhan unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan”. Pertama, ratio decidendi hakim sendiri juga
mengakui bahwa terdakwa tidak memberikan perlakuan berbeda kepada Mapna Co karena
perusahaan ini juga tidak mendapatkan akses untuk kunjungan kerja, artinya bahkan tidak
ditemukan pelanggaran atas principle of equal treatment.46 Kedua, tidak ada aturan yang
menjelaskan bahwa kunjungan lapangan adalah suatu keharusan. Ketiga, tanpa memberikan
motivasi, hakim mengabaikan argumentasi substansial Surya Sinaga yang menyatakan bahwa
Siemens meminta waktu dua minggu untuk assessment, padahal waktu yang ada sedemikian
terbatas karena masyarakat semakin marah akibat sering dan lamanya pemadaman bergilir.
Konstruksi hukum hakim dalam memutus terdakwa Chris Manggala di kasus turbin
Belawan juga patut dipertanyakan. argumentasi hakim tampak dangkal dengan menyatakan
terdakwa Chris memenuhi unsur “dengan tujuan menguntungkan suatu korporasi”, hanya
karena yang bersangkutan tidak menegur Mapna Co atas keterlambatan prestasi selama tiga
bulan. Situasi dimana Mapna Co terlambat tiga bulan dalam mengirimkan turbin adalah
urusan keperdataan. Sehingga seharusnya solusi hukum untuk hal ini misalnya – namun
mungkin tidak terbatas pada – memerintahkan PLN untuk mengenakan denda keterlambatan
kepada Mapna Co, dan bukan memidana karyawan PLN.47 Hakim juga berlebihan dengan
menyatakan terdakwa memenuhi unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, karena tidak membuat berita acara
serah terima barang dan/atau serah terima pekerjaan. Jika memang Chris melakukan
kesalahan, maka kesalahan tersebut adalah kesalahan administratif, sebagaimana yang diurai
diatas (tidak menegur atau tidak membuat surat). Ditinjau dari sisi akal sehat, sulit untuk
memahami bahwa seseorang yang tidak menegur dan membuat surat harus menyandang
status sebagai koruptor dan didera dengan hukuman penjara selama empat tahun. Jika
memang terdakwa Chris ingin dipidana, maka penegak hukum harus menunjukkan hal yang
lebih kuat daripada hal diatas.
Beralih ke kasus pembangunan gedung bea cukai, penulis sependapat dengan hakim
bahwa PPK telah bertindak melawan hukum dengan memperpanjang kontrak melebihi 50
hari. Namun demikian, penulis meragukan konstruksi hukum hakim yang menyatakan bahwa
perpanjangan kontrak yang melebihi aturan tersebut menguntungkan CVBT, dan oleh
karenanya unsur dakwaan subsider “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi” terpenuhi. Kesimpulan ini meragukan karena kontradiktif dengan
pernyataan hakim sebelumnya saat mengesampingkan dakwaan primer. Sebelumnya, hakim
menganggap bahwa unsur dakwaan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
tidak terbukti”, karena CVBT tidak pernah menikmati uang yang diberikan (uang kucuran
kredit habis untuk biaya material dan operasional).48 Jika hakim sebelumnya menyatakan
bahwa PPK tidak terbukti memperkaya korporasi, mengapa hakim bisa meyakini bahwa yang
bersangkutan bertujuan untuk memperkaya korporasi? Sayangnya, hakim tidak menguraikan
hal ini. Dengan adanya inkonsistensi (atau setidak-tidaknya kekaburan) pola pikir hakim
ihwal “memperkaya korporasi (CVBT)”, maka menjadi diragukan apakah kasus ini memang
layak diselesaikan secara hukum pidana. Tidakkah lebih pantas bahwa PPK dihukum secara
hukum administrasi atas kelalaian prosedur yang ia lakukan, terutama menimbang hakim juga
mengakui bahwa tidak ada keuntungan pribadi yang dinikmati oleh PPK? Selaras dengan hal
tersebut, tidakkah lebih tepat jika kesalahan CVBT dipandang sebagai pemborong yang gagal
dalam memenuhi kontrak?
Selain elaborasi diatas, adalah hal yang juga patut dipandang mengganggu ketika
hakim dalam kasus-kasus diatas tidak pernah mengelaborasi secara memuaskan unsur “dapat
merugikan keuangan negara”. Hakim dikasus turbin, baik untuk putusan terdakwa Surya Sinaga dan Chris Manggala, menyatakan bahwa karena adanya kata “dapat” dalam unsur
“dapat merugikan keuangan negara”, maka pembuktian dapat dikesampingkan. Di kasus
pembangunan gedung bea cukai, pada elaborasi tentang dakwaan subsidier, dengan merujuk
pada kata “dapat”, hakim menyatakan pemenuhan unsur berdasarkan asumsi; sesuatu yang
bisa saja benar, namun juga bisa saja keliru. Padahal, sebelumnya di elaborasi mengenai
dakwaan primer, unsur dapat merugikan keuangan negara dinyatakan tidak terpenuhi.
Dengan kata lain, hal ini mengindikasikan bahwa kata “dapat” dimaknai secara berbeda
bahkan oleh hakim yang sama dalam kasus yang sama pula.
Singkat kata, ulasan diatas telah menunjukkan beberapa putusan pengadilan tipikor
yang memvonis beberapa terdakwa dengan alasan korupsi (merugikan keuangan negara)
padahal kesalahan mereka lebih bersifat administrasi dan/atau keperdataan. Mengapa hal
tersebut diatas dapat terjadi? Diduga hal ini dapat terjadi karena penegak hukum terlampau
mudah menyimpulkan bahwa terdakwa telah memenuhi unsur-unsur delik merugikan
keuangan negara, dan hal ini disebabkan oleh rendahnya derajat pembuktian yang diterapkan
dalam delik tersebut, yaitu tidak terdapatnya uraian yang mengharuskan pembuktian bahwa
perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa merupakan perbuatan yang bertujuan
untuk merugikan keuangan negara.49 Akibatnya, kesalahan administrasi dan perdata (entah
itu “perpanjangan kontrak” atau “tidak membuat teguran” atau tidak membuat “berita acara
serah terima barang” atau lainnya) dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban pidana bagi
pelaku.50 Hal ini akan diulas lebih lanjut pada sub pembahasan berikut.
E. Analisis tambahan
Selain dua kasus diatas, dipandang relevan untuk menyinggung secara singkat dua
kasus kontroversial yang lain, yaitu kasus pengadaan mobil listrik dan kasus bioremediasi
Chevron. Penulis tidak mengurai dua kasus ini seperti uraian sebelumnya, karena kasus yang
pertama “baru” pada level persidangan, sehingga belum ada putusan hukumnya; sedangkan
pada kasus yang kedua, penulis ragu bahwa pengadaan bioremediasi yang dilakukan oleh
Chevron adalah pengadaan pemerintah – sehingga membandingkan kasus ini dengan dua
kasus sebelumnya bisa jadi kurang tepat.
Untuk kasus pengadaan mobil listrik, beberapa bulan lalu ramai diberitakan bahwa
Dasep Ahmadi sebagai terdakwa korupsi merugikan keuangan negara, karena pengadaan
dilakukan tanpa kompetisi dan dianggap tidak memenuhi prestasi untuk membuat mobil
listrik sebanyak yang diperjanjikan.51 Hal ini menjadi debateble karena yang dikerjakan oleh
terdakwa adalah membuat prototype yang ukuran keberhasilannya sulit untuk diukur dari sisi
kuantitas output yang dihasilkan. Lebih dari itu, jika memang dipandang bermasalah, ini
dipandang sebagai urusan keperdataan, wanprestasi.52
Untuk kasus pengadaan jasa bioremediasi, tampak bahwa delik pidana merugikan
keuangan negara diterapkan untuk menghukum penyedia (PT Green Planet Indonesia (GPI))
yang mengikuti tender bioremediasi, padahal ini adalah tender di perusahaan swasta (Chevron).53 Hakim yang memutus perkara ini tidak pernah bersuara bulat, baik untuk tingkat
pertama (2 menghukum : 1 tidak), tingkat banding (3 menghukum : 2 tidak), dan tingkat
kasasi (2 menghukum : 1 tidak). Penulis ingin menggaris bawahi argumentasi hakim yang
dissenting opinion dan menolak menghukum terdakwa. Hakim Agung Leopold Hutagalung
menganggap bahwa kasus bioremediasi adalah kasus perdata, dengan menyatakan bahwa
unsur memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain tidak terbukti, karena:
“Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan ada niat dari Terdakwa dan yang mewakili
PT. Chevron Pacific Indonesia untuk tujuan pembobolan tersebut”.54 Selanjutnya, hakim
Leopold juga menganggap bahwa, “hukum pidana kita hanya mengenal ajaran pertanggung
jawaban secara langsung, bukan beruntun, berentetan, atau menyamping”.55 Terkait yang
disebut belakangan, hakim Leopold memberikan ilustrasi menarik, bahwa jika logika
penegak hukum diterapkan dalam situasi yang lain, maka, “setiap orang yang lalai membayar
rekening telepon atau PAM (...) akan dapat dituntut melakukan Tipikor”; 56 bahkan, orang yang tidak membayar makan waktu di restoran juga akan dituntut melakukan Tipikor karena
dalam tagihan tersebut ada komponen pajak yang merupakan hak Negara”.57
Penulis sependapat dengan argumentasi Hakim Leopold diatas. Mengingat contoh
diatas lebih mewakili bidang hukum perdata, maka perkenankanlah penulis untuk
memberikan contoh dalam bidang hukum administrasi. Jika logika penegak hukum
diterapkan kepada seseorang (baik pegawai negeri sipil, karyawan BUMN, atau orang umum)
yang mendapatkan beasiswa studi (“karyasiswa”) yang terkait dengan keuangan negara
(Dikti, Depkominfo, LPDP, Bappenas, atau beasiswa apapun dari lembaga donor yang
sifatnya hutang), lalu karyasiswa tersebut gagal atau hanya sekedar terlambat menyelesaikan
studinya; maka, yang bersangkutan sudah dapat dituntut melakukan Tipikor. Mengapa
demikian? karena karyasiswa tersebut telah memenuhi unsur-unsur fundamental Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3; yaitu unsur melakukan perbuatan melawan hukum (karena dianggap lalai
(baik gagal atau terlambat menyelesaikan masa studi, dan/atau dianggap melanggar hukum
administrasi terkait masa studi); memenuhi unsur memperkaya diri sendiri (karena telah
mendapatkan biaya hidup dari beasiswa); dan memenuhi unsur dapat merugikan keuangan
negara. Lebih dari itu, jika hakim yang memutus perkara seperti di kasus pengadaan gedung
bea cukai, maka hakim akan berargumen tidak akan “pusing” untuk membuktikan unsur ini,
karena dianggap tidak perlu dibuktikan kerugiannya akibat adanya kata “dapat” dalam frase
unsur tersebut.
Mengejutkan? Belum seberapa. Jika logika hakim pada kasus turbin diterapkan pada
contoh beasiswa ini, maka yang dapat didakwa merugikan keuangan negara bukan hanya si
karyasiswa, namun juga para atasan karyasiswa apabila mereka lalai “tidak menegur” si
karyasiswa. Sedangkan, jika logika pertanggungjawaban menyamping a la hakim kasus
bioremediasi diterapkan, maka universitas dan/atau pembimbing si karyasiswa juga dapat
didakwa, karena terlambatnya penyelesaian studi karyasiswa patut diduga karena
pembimbing tidak membimbing dengan baik – sehingga pembimbing melakukan “perbuatan
melawan hukum”. Sedangkan unsur “memperkaya diri sendiri” bisa dipastikan terpenuhi,
karena pembimbing mendapatkan honorarium pembimbingan yang bersumber dari keuangan
negara, adapun unsur “dapat merugikan keuangan negara”, sudah dianggap langsung
terpenuhi tanpa perlu dibuktikan.
F. Isu konstitusi atas rendahnya standar pembuktian kasus korupsi tipe merugikan
keuangan negara
Mengingat uraian diatas mendalilkan pada “kata kunci” standar pembuktian yang
rendah dalam delik korupsi tipe merugikan keuangan negara; maka, sedikit banyak hal ini
terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006. Di bagian ini,
penulis akan mengulas terlebih dahulu putusan Mahkamah, baru belakangan akan diuraikan
korelasi ulasan tersebut dengan ulasan yang telah diurai sebelumnya.
Pada intinya terdapat permohonan yang meminta Mahkamah untuk membatalkan
sebagian substansi UU Pemberantasan Tipikor, yaitu: (i) Pasal 2 ayat (1); (ii) Pasal 3; (iii)
Pasal 15, dan (iv) penjelasan dari ketiganya. Guna memastikan relevansi dengan topik tulisan
ini, semua yang terkait dengan Pasal 15 tidak akan diulas.
Pemohon meminta pembatalan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Alasannya, kata “dapat”
dianggap memberikan pemaknaan bahwa seseorang bisa divonis merugikan keuangan negara,
baik karena kerugian negara tersebut telah terjadi, maupun karena kerugian negara yang
belum terjadi.58 Hal ini tidak memberikan kepastian hukum dan oleh karenanya bertentangan
dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Mahkamah memutuskan untuk mempertahankan kata “dapat” dengan tujuan untuk
mempermudah beban pembuktian.59 Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah
menguraikan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
tidaklah bertentangan dengan hak kepastian hukum yang adil, sepanjang dipahami sesuai
dengan tafsiran Mahkamah. Penafsiran yang dimaksud adalah: “dalam hal tidak dapat
diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah
sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut
dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau
orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum telah terbukti”.60
Selain itu, Mahkamah memutuskan untuk membatalkan penjelasan Pasal 2 ayat (1),
yang mana hal ini secara otomatis juga berarti membatalkan penjelasan Pasal 3 karena penjelasan Pasal 3 merujuk pada penjelasan Pasal 2 ayat (1).61 Penjelasan tersebut dianggap
tidak menjamin kepastian hukum sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena
perbuatan yang tidak diatur dalam aturan tertulis juga dapat dijadikan alasan untuk memidana
seseorang.62 Menariknya, dalam motivasinya membatalkan penjelasan diatas, Mahkamah
juga sempat mengkhawatirkan jika penjelasan tersebut akan “membuat kriteria perbuatan
melawan hukum yang dikenal dalam hukum perdata (...) seolah-olah telah diterima menjadi
satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana”.
Ada dua hal yang dapat dipetik dari putusan MK diatas jika dikaitkan dengan tulisan
ini. Pertama, Mahkamah tidak menyinggung sama sekali tentang pentingnya penegak hukum
untuk membuktikan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
tersangka/terdakwa adalah perbuatan yang bertujuan untuk merugikan keuangan negara.
Kedua, namun, Mahkamah menyinggung (secara singkat) kekhawatiran kesalahan yang
sifatnya keperdataan akan menjadi ukuran untuk melakukan pemidanaan, dan oleh karenanya
memutuskan untuk membatalkan penjelasan Pasal diatas. Ironisnya, sekalipun sudah
disinggung, penegak hukum masih saja berpikir bahwa urusan keperdataan bisa diseret ke
urusan korupsi.63
Beralih ke isu lain, sekiranya para pemangku kepentingan sependapat untuk
memperbaiki rumusan Pasal-pasal korupsi merugikan keuangan negara, maka agar tidak
membahayakan strategi pemberantasan korupsi; sebaiknya perbaikan rumusan Pasal-pasal ini
tidak dilakukan di senayan (DPR). Jangan sampai justru membuat blunder karena sebagian
politisi ingin menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga cara yang
paling aman mungkin adalah mengajukan kembali Pasal-pasal ini ke MK. Pertanyaannya
adalah apakah ini dapat diajukan kembali ke Mahkamah mengingat menurut Pasal 10 ayat
(1) UU MK putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat? Terhadap hal ini, tentu rekan-rekan hukum tata negara yang lebih berkompeten untuk mengajukan argumentasi. Namun
jika diperkenankan untuk berbagi pandangan, maka penulis berpendapat bahwa Mahkamah
sebaiknya menerima untuk menguji ulang Pasal-pasal ini.
Ada beberapa argumentasi yang dapat diajukan. Pertama, alasan/tujuan pengujian
berbeda; jika sebelumnya argumentasi pemohon lebih kepada pembatalan Pasal-pasal
tersebut; maka untuk permohonan ini, argumentasi lebih kepada meminta penafsiran MK
yang bertujuan untuk meningkatkan standar pembuktian dalam penerapan delik korupsi
merugikan keuangan negara. Hal ini dipandang relevan karena sebagaimana paragraf diatas,
mahkamah sendiri tidak menyinggung sama sekali tentang pentingnya penegak hukum untuk
membuktikan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa
adalah perbuatan yang bertujuan untuk merugikan keuangan negara. Kedua, mahkamah
hendaknya menerima permohonan tersebut, karena sebagai pengawal konstitusi berkewajiban
memastikan hak hidup dan kebebasan manusia yang fundamental,64 yang kutipan kata
Dworkin sebelumnya, hanya boleh dirampas jika memang yang bersangkutan melakukan
kesalahan pidana dan hal dibuktikan dengan standar pembuktian yang tinggi. Ketiga, keadaan
ketika Mahkamah memutus Pasal-pasal ini pada tahun 2006 diyakini berbeda dengan
keadaan saat ini. Kala itu, hakim Mahkamah yakin bahwa standar pembuktian yang
direndahkan dapat membantu memudahkan pembuktian korupsi merugikan keuangan negara.
Tidak dipertimbangkan bahwa hal ini dapat (i) mencederai keadilan (sebagian) pihak yang
telah divonis bersalah, karena kesalahan hukum perdata dan hukum administrasi dimintai
pertanggungjawaban pidana; (ii) tidak pula dipertimbangkan bahwa hal ini dapat memberikan
ketakutan yang tidak perlu dan melanggar asas kepastian hukum. Mengingat adanya hal baru
yang seharusnya dipertimbangkan, maka Mahkamah perlu mempertimbangkan kembali
untuk menguji Pasal-pasal ini.
G. Meningkatkan standar pembuktian kasus korupsi merugikan keuangan negara:
lebih besar manfaat daripada mudharat?
Ada satu kerugian sekaligus beberapa kemanfaatan yang mungkin timbul jika standar
pembuktian korupsi tipe merugikan keuangan negara ditingkatkan. Kerugiannya adalah
penegak hukum mungkin akan menghadapi kesulitan untuk menyeret terduga korupsi,
padahal kasus korupsi mungkin tidak mudah untuk dibuktikan. Namun, ada berbagai manfaat
yang perlu dipertimbangkan, sbb.
Pertama, peningkatan standar ini akan lebih berkeadilan, karena orang akan dihukum
sesuai derajat kesalahannya. Bukankah tidak adil untuk memvonis seseorang telah melakukan
korupsi, padahal pengadilan hanya mampu menunjukkan kesalahan terdakwa adalah
“wanprestasi” atau “tidak menegur” atau “tidak membuat berita serah terima pekerjaan”?
Kedua, penegak hukum akan lebih professional, tidak “malas”. Pada semua kasus yang
disebut diatas, baik yang dijabarkan secara gamblang seperti kasus turbin, kasus
pembangunan gedung bea cukai; maupun yang disinggung secara singkat, seperti kasus
bioremediasi dan kasus mobil litrik; tidak terlihat sama sekali uraian yang bisa menjelaskan
apakah kesalahan (“perbuatan melawan hukum”) yang dilakukan terdakwa memang
didasarkan pada niat untuk menggarong uang negara. Hal ini relatif tampak berbeda dari
kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK; terlihat jelas bahwa terdakwa memang sengaja
berniat menggarong uang negara, misalnya pada kasus PON atau kasus hambalang. Selain
itu, dengan peningkatan estándar pembuktian yang lebih tinggi, penegak hukum bisa dicegah
untuk berbuat sewenang-wenang dengan menekan calon tersangka untuk melanggar hukum
untuk kepentingan pribadi si penegak hukum.66
Ketiga, menetralisir ketakutan yang tidak perlu, sehingga kegiatan proses berjalannya
pemerintahan dapat berjalan lebih smooth. Baik kasus turbin dan pembangunan bea cukai
sesungguhnya adalah kasus yang sama-sama mengganggu psikologis praktisi pengadaan. Jika
kasus turbin memang karena kasus ini adalah high profile case, namun jika kasus
pembangunan kantor bea cukai karena yang dipidana adalah Agus Kuncoro. Dia adalah salah
satu praktisi dan nara sumber terkemuka, juga penulis buku di bidang pengadaan. Jika orang sekapasitas Agus bisa tersangkut kasus pidana korupsi (yang mana hakim sendiri mengakui
bahwa dia tidak menikmati uang kerugian negara tersebut); maka bisa dibayangkan
bagaimana kekhawatiran para (calon) praktisi pengadaan yang lain.
III. KESIMPULAN
Tulisan ini telah menunjukkan bahwa kesalahan yang bersifat administrasi dan
keperdataan di beberapa kasus pengadaan barang/jasa -secara janggal- telah diklasifikasikan
oleh penegak hukum sebagai perbuatan korupsi merugikan keuangan negara. Di kasus turbin,
tindakan panitia pengadaan yang tidak memberikan kesempatan melakukan kunjungan kerja
(assessment) pada salah satu peserta pengadaan juga secara dangkal langsung dianggap
sebagai rangkaian keterpenuhan delik Pasal 3. Padahal peserta pengadaan yang lain juga
tidak diberikan kesempatan tersebut, yang artinya tidak ada pelanggaran principle of equal
treatment. Masih di kasus yang sama, kesalahan administrasi yang dilakukan PPK hanya
karena tidak menegur penyedia yang terlambat memenuhi prestasi hingga tidak membuat
surat serah terima pekerjaan, sudah dianggap sebagai rangkaian keterpenuhan delik Pasal 3
UU Pemberantasan Tipikor. Di kasus pembangunan gedung bea cukai, kesalahan
administrasi yang dilakukan PPK dengan melakukan perpanjangan waktu untuk penyelesaian
pekerjaan membuatnya dipidana, padahal hakim sendiri mengakui bahwa ybs tidak
mengambil keuntungan personal atas kejadian ini. Kemudian, sang pemborong dipidana
korupsi karena wanprestasi (gedung hanya terbangun 70 persen) dan tindakannya tersebut
merugikan keuangan negara.
Selain hal diatas, sempat pula disinggung secara singkat mengenai kejanggalan kasus
dimana delik korupsi merugikan keuangan negara juga diterapkan pada urusan keperdataan
atas pengadaan yang dilakukan oleh perusahaan asing (Chevron). Diyakini, kontroversi
terkait dengan pelanggaran batas hukum pidana yang memasuki hukum administrasi dan
hukum perdata masih akan terus meminta korban, mengingat kejaksaan sedang
menyidangkan kasus inovator mobil listrik sebagai tersangka korupsi kerugian negara.
Kesalahan yang bersifat administrasi dan keperdataan dapat “diseret” sebagai kasus
korupsi, karena Pasal 2 (1) dan Pasal (3) UU Pemberantasan Tipikor memungkinkan penegak
hukum untuk mendakwa dan memvonis seseorang bersalah, tanpa perlu menerapkan standar
pembuktian yang tinggi. Seseorang sudah dapat divonis bersalah tanpa perlu pembuktian
bahwa perbuatan melawan hukum (wanprestasi atau pelanggaran administrasi) yang
dilakukan merupakan perbuatan berlanjut yang bertujuan untuk merugikan keuangan negara.
25
Hal diatas tidak dibenarkan jika ditinjau dari ilmu hukum pembuktian, karena standar
pembuktian untuk kasus pidana, apalagi untuk tuduhan serius seperti pidana korupsi,
harusnya bersifat “beyond reasonable doubt”. Apabila merujuk redaksional Pasal 2 (1) dan
Pasal 3 diatas dan bila melihat indikasi penerapan penaganan perkara yang terjadi di
lapangan; standar pembuktian yang diberlakukan adalah “more likely than not”, yang
merupakan standar pembuktian untuk kasus perdata dan hukum administrasi. Ditinjau dari
hukum konstitusi, penerapan standar pembuktian yang rendah untuk kasus korupsi dapat
menciptakan ketidakadilan, karena bisa membuat seseorang dihukum tidak berdasarkan
derajat kesalahannya, dan menciptakan ketakutan yang tidak perlu. Ketidakadilan ini
bertentangan dengan UUD.
Ketidakbenaran ini perlu dikoreksi. Namun untuk menghindari blunder di Senayan,
mungkin upaya yang paling bijak untuk mengoreksi hal ini adalah dengan memohon
pengujian kembali ke MK. Mahkamah memang pernah menguji Pasal-pasal ini di tahun
2006, namun sekiranya ada permohonan pengujian kembali, hendaknya Mahkamah
mengesampingkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU MK. Tiga argumentasi yang dapat
diajukan adalah, sbb: (i) alasan/tujuan pengujian berbeda; (ii) sebagai pengawal konstitusi,
Mahkamah berkewajiban untuk memastikan hak hidup dan kebebasan manusia yang
fundamental yang hanya boleh dirampas jika memang yang bersangkutan melakukan
kesalahan pidana dan hal dibuktikan dengan standar pembuktian yang cukup; (iii) keadaan
ketika Mahkamah memutus Pasal-pasal ini pada tahun 2006 diyakini berbeda dengan
keadaan saat ini.
Blog Pengadaan - Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah - Guidelines for the Government Procurement of Goods and Services Blog
Pengadaan Barang Jasa,
Uang Muka,
Jaminan dalam Pengadaan Barang Jasa, Buku Pengadaan, Buku Tender,Pengadaan barang, Perpres 54 tahun dan revisi/perubahan perpres 54, Pengguna Anggaran (PA), Para Pihak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pokja ULP, PPHP, Pejabat/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan, Pengadaan Pelaksana Konstruksi, Pengadaan Konsultansi, Pengadaan Jasa Lainnya, Swakelola, Kebijakan Umum Pengadaan, Pengadaan Langsung, Pelelangan atau Seleksi Umum, Pengadaan atau Penunjukan Langsung, Pengadaan Kredibel, Pengadaan Konstruksi, Pengadaan Konsultan, Pengadaan Barang, Pengadaan Jasa Lainnya, Jaminan Penawaran, Jaminan Pelaksanaan, SKT Migas, Tenaga Ahli, HPS, Kontrak, Evaluasi, Satu/Dua Sampul dan Dua Tahap, TKDN, Sisa Kemampuan Paket, Kemampuan Dasar, Dukungan Bank, afiliasi, Konsolidasi Perpres 54 tahun 2010, e-katalog, Penipuan Bimtek e-Procurement Kasus Pengadaan Construction, Consultation, Goods, Services, Green Procurement, Sustainable Procurement, Best Practice Procurement, Supply Chain Management
http://pengadaan-barang-jasa.blogspot.co.id/search/label/kasus%20pengadaan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment